Pertama: "Pernikahan"

30 1 0
                                    

Pernahkah kamu menemui orang yang paling ideal menurutmu untuk menghabiskan sisa hidup bersama? Aku iya. Dan sekarang aku datang ke pernikahan. Oh tidak, jangan pikir ini pernikahanku. Bukan! Ini pernikahannya. Orang paling ideal yang pernah aku temui. Satu-satunya orang yang (entah bagaimana mengatakannya supaya aku tak terdengar berlebihan) hadir dalam setiap goresan penaku. Orang yang bagaimanapun juga, tak akan kusebut namanya disini.

Orang-orang biasa bilang, "Mencintai seseorang terus menerus tanpa saling berhubungan sedikit pun dan terpisah ratusan kilometer jauhnya, hanya ada dalam roman-roman picisan." Lalu apa orang-orang tersebut tidak memperhitungkan aku? Maka harus kukatakan pada kalian, jangan pernah mengatakan hal itu pada siapapun! Kalian pikir aku berlebihan? Mungkin. Namun, setidaknya ini yang terjadi padaku.

Apa yang orang saleh sering katakan, "Ikat dia dengan doa!"? Ya, ya, kalian ikat dirinya dengan doa dan takdirnya diikat dengan orang lain. Tak berguna!

Singkatnya kami bertemu di ranah bangku sekolah yang sangat indah dan yang aku tahu, aku menyayanginya. Hanya itu saja. Yang kukira hatiku akan mulai melengserkannya seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jarak, namun ternyata tak pernah benar-benar terjadi.

Kalian pikir aku tahu banyak tentang dia? Tidak, aku tidak tahu banyak tentang dia kecuali yang biasa terjadi di sekolah kami dulu. Aku mencari tahu dan dia terlalu terbentengi. Dia tidak misterius. Dia hanya terbentengi. Sudahlah, membicarakan dia tak akan ada habis-habisnya. Lagipula tak ada gunanya juga membicarakan 'milik' orang lain.

Kemarin pagi akad nikahnya telah dilaksanakan. Hampir semua teman sekolah kami dulu datang. Tetapi aku tidak. Aku masih bertahan di Jakarta berpura-pura ada masalah dengan pekerjaan. Bohong! Aku diam di kamarku, menangis tidak, terharu pun tidak. Aku hanya diam. Aku sudah terlalu tua untuk menangisi cinta zaman putih abu-abu. Tetapi aku terlalu rapuh untuk benar-benar bangkit dari kenyataan bahwa orang itu, dia, telah menentukan pada ayah siapa tangannya akan menjabat saat akad nikah. Dan itu bukan ayahku.

Kalian pikir aku menyedihkan karena tidak punya teman yang menghiburku? Tidak. Mereka tak lagi tahu aku masih yang dulu, masih selalu kepadanya. Dan kini kalian juga bisa membayangkan bagaimana menjijikannya wajah sok tegarku saat bercerita dengan kawan-kawanku tentang rencana pernikahannya

Aku memutuskan datang jauh-jauh dari Jakarta menuju Jogjakarta untuk menghadiri resepsi pernikahannya yang sudah dimulai kira-kira setengah jam yang lalu. Aku sudah di tengah perjalanan. Ibarat berada di jembatan yang hampir putus, aku tidak ada pilihan lain selain bergegas menuju tujuan dan segera mengakhiri perjalanan ini. Terlalu terlambat untuk mundur dan kembali mendekam sendiri.

Kalian harus tahu aku tidak pernah meneteskan air mata di depan orang banyak. Jadi tenang saja. Aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri.

Kawan-kawanku, tak satu pun yang tahu bahwa aku akan datang. Mereka hanya tahu aku terlilit novel-novel yang harus aku edit secepatnya. Tapi aku datang, tetap datang, untuk membuktikan pada hatiku sendiri, aku kuat!

Wah! Kalian pernah tahu rasanya hati kalian remuk seiring mantapnya kaki kalian melangkah. Itu... menghancurkanmu!

Lihat, dia disana! Masih dengan senyum konyolnya berjabat tangan dengan entah siapa. Aku masih mengenalnya meski empat tahun terakhir tak pernah lagi melihat wajahnya. Aku masih selalu mengenalnya meski dari jauh.

"Rinda? Kau datang?".

Bah, suara itu benar-benar mengagetkanku! Sahabatku rupanya. Oh iya, sebenarnya masih ada Irfan yang tahu semua yang tadi telah aku ceritakan pada kalian. Hanya dia.

"Tentu saja!", kataku memasang senyum. Ah, entah ini benar-benar senyum atau bukan.

"Hei, jangan sok memasang senyum begitu di depanku! Biasa saja! Aku tahu!", balasnya tajam sambil mengibaskan tangan kanannya.

Undangan PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang