1

340 14 7
                                    


-Tidak mungkin, menyukainya tidak akan pernah mudah - Jezabel

Abel

Denting piano mengalun lembut memanjakan kedua telingaku yang telah terpasangi sebuah earphone. Garis bibirku refleks melengkung membentuk senyum ketika melodi berjudul Canon karya Johann Pachelbel mulai berdentang.

Jangan berdecak kagum dulu melihat selera musikku yang dahsyat. Musik bernada indah ini berasal dari game piano dengan empat tuts yang membuatku ketagihan (maaf harus mengecewakanmu).

Jemariku bergerak lincah di atas layar ponselku. Pikiranku melayang membayangkan diriku yang tengah disorot lampu di tengah panggung megah dengan gaya bak pianis internasional memainkan tuts piano berbody kinclong.

Lagu demi lagu mengalun bergantian melewati gendang telingaku (jangan lupa iringan tepuk tangan meriah hasil imajinasiku). Aku mulai larut dalam melodinya, rangkaian nada mulai beranjak menuju klimaks. Jemariku bergerak kian lincah seiring tempo yang semakin cepat. Sedikit lagi selesai dan...

"Gimana nggak bego, bisanya cuma main."

Suara itu,  Azel!

Konsentrasiku seketika buyar. Bahkan otakku masih sempat menciptakan bayangan penonton yang bersorak kecewa.

Aku menggeram kesal. Kenapa sih, bayangan sosoknya saja hobi menggangguku. Otakku seakan ikut berkomplot ketika bayangan wajah Azel terbentuk semakin nyata. Garis rahang tegas dan alis tebal yang menaungi matanya. Mulutnya yang selalu melengkung sinis, terkesan mengejek. Semuanya tersimpan dengan baik dalam memoriku, yang bahkan aku tidak tau kenapa dan bagaimana!

Buru-buru aku menggelengkan kepalaku mengusir bayangan itu pergi. Aku menggerutu tidak jelas sambil memejamkan mata, berusaha menyumpal sosok itu ke dalam lemari memoriku yang berlabel "terlarang".

Otakku pasti tengah meracau. Sepertinya imajinasiku mulai kelewat batas.

Ohya, kenalkan namaku Jezabel, lebih suka dipanggil Abel. Ehem, dan sosok yang kuusir tadi itu Derazel, panggil saja Azel supaya singkat.

Sst! Yang barusan terjadi itu rahasia ya, jangan beritahu siapapun! Melamunkan seorang Azel tidak boleh terjadi sedetikpun dalam hidupku. Bahkan membayangkan bulu hidungnya saja tidak boleh!

Tapi, Abel dan Azel, harusnya tidak buruk kan?

Salah-salah! Maksudku, Abel dan Azel? Hal terburuk sepanjang masa.

Otakku benar-benar harus di re-set ulang.

***

Aku segera bangkit dari tempat tidurku begitu membuka mata. Aku pasti bangun kesiangan lagi! Refleks aku melirik ke arah jam digital yang telah tergeletak di atas nakasku. Benar, sudah pukul setengah tujuh. Aku segera menyambar handuk lalu berlari menuju kamar mandi.

Tidak sampai sepuluh menit, aku telah siap dengan seragam yang sedikit kusut di beberapa bagian. Dengan langkah terburu-buru aku berlarian di dalam kamar, meraih semua barang yang teringat dan terlihat olehku. Tanganku tidak kalah sibuk saat memasukkan asal buku dan alat tulis yang tergeletak di atas meja belajar. Buku mat sudah, geografi sudah, sosiologi sudah, sejarah sudah. Fiuhh, siap berangkat.

Namun ketika tinggal dua langkah dari pintu kamarku, aku teringat sesuatu. Makalah sejarahku! Aku kembali menghampiri meja, kemudian mengacak-acak laci mencari makalah berwarna hitam yang seharusnya tersusun rapi di sana. Aneh bin ajaibnya, dia menghilang.

"Mamaaa! Liat tugas makalahku gakk? Harusnya di laci tapi kok nggak ada yaaa?!" teriakku bersamaan ketika mataku menangkap sebuah kertas yang terlipat rapi di ujung laci. Masalah hilangnya makalahku terlupakan sejenak.

Aku tahu persis isi surat ini, tulisan cakar ayam dengan guratan pensil. Kapan ya terakhir aku melihatnya? Sebulan yang lalu? Seminggu yang lalu? Entah, namun seakan ada sesuatu yang menggelitikku untuk kembali membacanya.

"Sok galak,

Tapi setidaknya itu lebih baik daripada sok cantik."

-Azel-

Aku menggerutu kesal. Azel, lagi. Di manapun, kapanpun, dalam bentuk apapun selalu saja membuatku kesal.

Kertas ini sudah berdiam di sana sejak saat aku menjadi panitia MOS tahun lalu. Seingatku semua anak kelas sepuluh memang diminta untuk memberikan sebuah surat untuk setiap panitia. Dan yang satu ini adalah dari makhluk itu. Satu-satunya adik kelas yang selalu bicara seenaknya, bertingkah seenaknya, segala-galanya seenaknya.

Lebih anehnya, kenapa aku sudi menyimpannya dalam laciku? Dan membacanya, lagi?!

Ketika aku hampir saja benar-benar lupa dengan makalah itu, mama muncul di muka pintu kamarku sambil menggoyang-goyangkan sesuatu. Eh? Itu kan makalahku!

"YES! MAKASIH MAAA! UH TILL THIS DAY YOU'RE STILL MY FAVORITE HERO. WHERE DID YOU GET THOSE POWER MAAA?!" aku menghampirinya kemudian memeluknya erat. Saking eratnya membuat mama menoyor kepalaku pelan agar bisa melepaskan diri dari jeratan mautku.

"Sana cepet sekolah, sampai kapan sih kamu telat terus?! Coba liat sekarang jam berapa?" kata mama sambil belagak menunjuk pergelangan tangannya (padahal dia sedang tidak memakai jam tangan. Boro-boro, aku yakin dia juga belum mandi, lihat saja daster motif bunga yang masih dikenakannya.

"Iya ma iya." Aku mengembalikan kertas itu asal ke dalam laci lalu mengambil tas sekolahku dan makalahku, kemudian berlari keluar kamar.

"Dah mamaaaaa!" teriakku.

***

Yes akhirnya update juga.

Ditunggu ya kritik dan sarannya.

Votenya juga kalo kamu suka :)

Rahasia Azel & Abel [4/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang