Aku menguap malas-malasan, kemudian disambung dengan kerucukan dari perutku yang berbunyi dengan tidak sopan. Mie ramen instan yang baru aku angkat masih mengepulkan uap panas di atas meja.
Lidahku tidak terlalu tahan dengan makanan panas, jadi aku pun mengaduk-aduk makanan itu sebentar dengan mata sayu karena menahan kantuk. Aroma karinya yang sangat kuat mendadak membuat rasa kantukku sirna. Aku menelan ludah. Makanan sejuta umat itu telah membuat perutku semakin meraung-raung. Beberapa waktu berlalu. Setelah kalornya berkurang cukup banyak, aku pun melahap makanan itu.
"Noona!"
"Uhuk!"
Kyung mengguncang pundakku dari belakang yang sontak membuatku tersedak, hingga kebingungan mencari minum. Rasa pedas yang telah salah masuk ke sistem respirasiku, membuatku terbatuk-batuk. Mataku sampai berair dan hidungku memerah.
Dengan cepat, aku menenggak segelas air dingin yang tiba-tiba disodorkan oleh Kyung. Setelah menuntaskan sensasi tersedak tadi, aku memelototi pemuda itu hingga ia menciut.
"Kau tidak lihat aku sedang makan?!" makiku sebal.
"Noona, aku mendapatkan beasiswa itu!" Kyung mengoceh senang tanpa peduli dengan makianku.
"Iya, aku sudah tahu!" balasku cepat.
"Hah? Tahu darimana? Pengumumannya kan baru saja," tanyanya heran.
Sialan, aku keceplosan! Rutukku dalam hati.
Dengan cepat, aku menyahut, "Nilaimu sempurna. Kalau kau sampai tidak mendapatkan beasiswa itu, aku akan menyeret tim penyeleksi itu ke dokter mata!"
Kyung tersenyum dan mengangguk dengan penuh semangat sampai-sampai kepalanya terlihat akan copot dari lehernya.
Fiuh, aku selamat.
"Tapi Noona...."
Dua kata yang sukses membuatku waswas. Ia masuk kamar, lalu kembali lagi dengan ponsel yang disodorkan padaku. Ia mengisyaratkan agar aku membaca isi email pengumuman kelulusan itu. Saat aku mencerna kalimatnya baris demi baris, seketika aku mengingat pembicaraanku tempo hari dengan Minah dan Bian soal beasiswa.
"Ini aneh. Aku kan memilih Universitas Yonsei, bukan Universitas Tokyo. Sepertinya ada kesalahan. Aku harus menghubungi mereka," jelas Kyung.
"Iya. Lakukan saja apa yang menurutmu benar."
Aku mengiyakan saja meskipun aku tahu itu percuma. Semuanya telah diatur Minah dengan sangat rapi. Itulah enaknya memiliki kekuasaan. Kehidupan orang lain seolah berada di tangan kita. Seolah kita mampu membolak-balikkan nasib seseorang semudah menghidupkan atau mematikan lampu. Seakan kita bisa menjatuhkan hidup seseorang, semudah mengaplikasikan teori tentang gravitasi Bumi pada sebutir apel.
Andai suatu hari nanti aku memiliki kekuasaan, aku akan melindungi setiap orang kecil sepertiku. Jika perlu, aku akan mempertaruhkan hidupku.
Sayang seribu sayang, aku hanyalah pekerja lepas yang merangkap lady escort. Lupakan bualanku barusan. Jangankan memiliki kekuasaan, kuliah saja megap-megap karena kekurangan uang sampai akhirnya aku memilih cuti. Entah sampai kapan aku harus terus memperpanjang cuti. Sepertinya aku tidak akan melanjutkan studiku.
Mie ramenku hampir dingin. Suapan-suapan berikutnya terasa hambar. Sayup-sayup suara Kyung yang sedang menghubungi pihak pemberi beasiswa terdengar olehku. Hampir lima menit sudah ia berbicara di telepon, sampai akhirnya ia keluar kamar dengan wajah kusut yang membuatku ingin menyemprotkan cairan pelicin pakaian ke wajahnya.
"Mereka bilang tidak ada kesalahan. Aku sengaja dipindahkan ke Universitas Tokyo, karena kuota untuk Universitas Yonsei sudah penuh. Memangnya bisa seperti itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOMALY
General FictionJika hidupku dijadikan drama Korea, mereka pasti akan mengumpat hingga lidah mereka nyaris encok. Kemudian bingung, siapa yang jadi tokoh antagonis di sini? Aku tidak mengkhayalkan kisah seindah negeri dongeng. Tapi demi Tuhan, aku pun tidak berhara...