Pria bernama Bian Lee itu benar-benar tipikal pria setia yang datar dan tegas (kalau tidak bisa dibilang dingin) pada wanita, atau mungkin hanya padaku. Hanya karena isi perjanjian itu saja yang membuat sikapnya padaku terpaksa baik dan manis.
Aku paham jika ia membenciku. Aku tidak bisa menyalahkannya. Ia hanya terpaksa melakukan permintaan istrinya dan aku tidak keberatan karena aku jadi orang kaya mendadak karena perjanjian itu. Minah sungguh beruntung memiliki Bian. Tidak banyak pria yang masih setia dengan kondisi istrinya yang seperti itu.
"Kita tidak ke pantai?" tanyaku pada Bian yang sedang bercermin.
"Ada kolam renang kalau ingin berenang," jawabnya datar sambil mengoleskan pelembab di wajahnya. Itu pasti krim wajah yang mahal. Pantas saja kulitnya bagus.
"Tapi ada orang...."
"Iyalah. Memangnya itu kolam renang nenekmu?" lanjutnya kejam.
Ia masih sibuk melihat diri sendiri di cermin demi mengagumi ketampanannya. Sangat terlihat dari gesture-nya.
Aku mengerucutkan bibirku dengan sedikit kesal, berharap ia menanggapiku dengan lebih baik lagi. Tapi nihil.
"Aku mau ke pantai," ucapku lagi.
Tidak ada tanggapan. Lama aku menunggu reaksinya, tapi tak sedikit pun ia menjawab. Aku menarik napas panjang untuk meredam kekesalanku.
Oh, jadi aku jauh-jauh ke Bali hanya untuk diabaikan seperti ini? Sekali ia berbicara pun, kata-katanya pedas. Pria ini lama-lama menjengkelkan juga, ya. Rasanya aku ingin sekali menyumpal mulutnya menggunakan sikat wc.
Tanpa banyak bicara lagi, aku menuju kamar mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian renang two pieces warna hitam. Setelah itu, pakaian tadi kukenakan lagi. Aku menyambar tas di sofa, lalu keluar kamar tanpa berpamitan padanya. Kesal dan marah bertumpuk dalam benakku.
Aku memasuki lift dan menekan tombolnya dengan sebal. Pintu lift belum sempat tertutup, tapi Bian sudah muncul di hadapanku dengan wajah yang terlihat marah.
"Mau ke mana?"
"Ke pantai," jawabku dengan ekspresi sok polos.
TAPPP!!!
Ia memegang pergelangan tanganku, kemudian menyeretku keluar lift dan berjalan kembali ke kamar hotel.
"Aku mau ke pantai!" Aku mencoba melepaskan cengkeramannya.
"Pantainya jauh dan kita tidak akan ke mana-mana. Mengerti?"
Mataku melotot.
"Apa?! Kenapa?!" Aku menuntut penjelasan hingga volume suaraku mengeras tanpa terkendali. Hanya masalah pantai saja sudah membuatku dan Bian ribut. Pasti pria ini benar-benar membenciku.
Ia menghentikan langkahnya, lalu memandangku.
"Bisa pelankan suaramu?" tanyanya.
"Tidak bisa! Aku mau ke pantai!" Volume suara ini pun sengaja aku naikkan.
"Pelankan suaramu." Ia mengatakannya lagi.
"Pokoknya aku mau ke pan- hmpphhh!"
Bibirnya membungkamku.
Yap! Dia menciumku walaupun hanya beberapa detik. Setelah tautan bibirnya terlepas dari bibirku, aku menatap wajah tampannya dengan benci. Tapi aku tidak bisa berkata apapun karena terlalu kesal.
"Kita ke kamar. Aku jelaskan di dalam," ucapnya langsung menarik tanganku sembari melangkah.
"Tapi aku mau jalan-jalan!" tolakku. Aku berusaha menekan perasaan kesal yang menumpuk. Setengah mati kucoba melepaskan cengkeramannya, tapi percuma. Tenaganya sangat kuat, kontras dengan wajahnya yang lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOMALY
General FictionJika hidupku dijadikan drama Korea, mereka pasti akan mengumpat hingga lidah mereka nyaris encok. Kemudian bingung, siapa yang jadi tokoh antagonis di sini? Aku tidak mengkhayalkan kisah seindah negeri dongeng. Tapi demi Tuhan, aku pun tidak berhara...