"Tapi, Widi, yang aku mau itu kamu. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain bersamamu. Karena tidak ada lelaki seromantis kamu. Kamu lah yang berhasil membuatku tersenyum hanya ketika seseorang menyebut namamu. Cuma kamu yang memanggilku Gendis. Kamu yang berhasil membuatku jatuh cinta dan memilihmu. Kamu yang mencuri hatiku, dan kamu yang harus bertanggung jawab, bukan Dimas," Ajeng tersenyum. Kedua tangannya meraih tangan Widi.
Matahari semakin lama bergerak ke arah barat. Namun belum juga sampai pada ujung horizon. Para pengunjung mulai beranjak dari lembah, pulang untuk beristirahat atau mengunjungi tempat nongkrong lain. Sementara sepasang kekasih di ujung tanduk itu saling bertatapan.
******
Bagian Tiga
"Ajeng," Widi menggumamkan nama gadis di sampingnya--untuk pertama kali setelah sekian lama.
Gadis cantik itu menoleh. Rautnya tersentak. Apa tadi ia tak salah dengar? Bukan Gendis, melainkan Ajeng.
Widi berdeham. "Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengantarmu pulang." Senyum tergurat di wajah pemuda itu. Getir.
"Kamu ini ngomong apa, sih? Kita, kan masih pacaran! Jangan mengada-ada, deh!" Ajeng tergelak. Tawa pahit tentu sangat terasa.
Widi masih tersenyum. Jemarinya menggamit telapak tangan Ajeng. "Aku jadi ingat, dulu kamu pernah mangatakan ssuatu padaku."
"Yah, aku mengatakan banyak hal padamu. Spesifiknya?"
"Tentang cinta," genggamannya terhadap Ajeng semakin erat. "Kamu masih ingat pertama kali kita pergi ke Sendra Tari Ramayana bersama-sama? Malam Jumat dengan bulan purnama yang sempurna, mereka memberikan penampilan luar biasa. Kamu selalu bergidik ketika Rahwana datang. Dan saat Laksmana muncul, pipimu merona. Aku cemburu, tahu," Widi terkekeh.
"Salah siapa Laksmana tampan," Gadis itu menimpali.
"Dan di akhir cerita, kamu menyimpulkan satu hal. Aku ingat sekali, kesimpulanmu waktu tak begitu nyambung dengan drama menakjubkan itu."
"Memangnya aku bilang apa?"
"Bahwa yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan adalah komitmen. Itu yang pertama. Kemudian cinta yang menyempurnakannya. Kurang lebih kamu bilang seperti itu padaku. Maka, aku berusaha memiliki komitmen untuk hubungan ini. Demi kamu. Demi kita. Demi masa depan kita." :""""")
"Dan?" Ajeng menatap Widi. Matanya nanar, hendak menangis. Namun, entah kenapa air mata di pelupuknya enggan keluar. Sangat menyiksa.
"Itulah keputusannya."
"Keputusan apa? Apa kita akan tetap bertahan?"
"Kita putus."
Napas Ajeng layaknya berhenti. Tenggorokannya tercekat perkataan Widi. Air mata bergulir, menuruni tebing pipinya. Sesak. "Bukankah kita saling mencintai? Bahkan kita sudah saling berkomitmen. Widi--"
"Bukan berarti aku ingin putus. Aku sungguh mencintaimu. Bena-benar serius akan hubungan ini. Namun aku tahu, sejak awal ayahmu memang tak menyukaiku. Seberapa keras pun aku membuatnya tersenyum, aku tidak bisa. Aku hanya tidak ingin membuatmu menyesal menikah denganku, Ajeng," Ibu jari Widi menyeka air mata Ajeng lembut.
"Tentu aku tidak akan menyesal, Widi. Untuk apa menyesal jika telah menemukan sosok sepertimu?" Matanya memicing, sendu.
"Kemungkinannya adalah ayahmu tak akan menyukaiku. Banyak pertimbangan akan ini semua, Ajeng. Lagipula, kamu dan Dimas dapat membangun sebuah komitmen baru. Cinta akan datang dengan sendirinya. Kamu tidak perlu khawatir." Air matanya mengalir lembut, mengiris hatinya siring susulan air mata lainnya.
"Kalau itu yang terbaik--" Ajeng menarik napas dalam-dalam.
"Mari kita akhiri hubungan ini."
Dan hubungan mereka berakhir.
BELUM TAMAT.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOGYAKARTA
Lãng mạnPemuda cerdas dengan pemikiran yang luar biasa kritis. Aktivis salah satu organisasi mahasiswa di universitasnya. Ia juga seorang anak yang patuh pada orang tua dan taat agama. Ah, Widi sangat mahir bermain biola dan cello sejak menginjak bangku Sek...