Bagian Dua

156 15 0
                                    

Bagian Satu,

"Atau kamu telah memiliki seseorang yang lain?" Sepasang mata gelap Widi memandang Ajeng yang enggan menatapnya. Sorot pemuda itu setengah kecewa, setengah lagi penuh harap.

Ajeng mengatupkan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Napas gadis itu menjadi tersengal. Dengusan napas itu terdengar keras dan menyesakkan.

* * *

Suasana lengang meliputi lembah itu beberapa lama. Hanya kicauan burung dan kesiur angin yang membubuhi isak gadis tersebut. Perasaan Ajeng tak dapat diungkapkan. Rasa yang tersembunyi itu seperti terlalu sulit untuk dimengerti Widi, apalagi untuk dijelaskan oleh Ajeng. Sungguh berat. Widi hanya menatap ujung pohon cemara yang bergerak kecil tertiup angin sepoi siang itu. Beda lagi rasa yang menyelimuti hati pria itu. Ia hanya dapat menduga-duga dan berusaha menghentikan pemikiran negatifnya terhadap Ajeng. Ajeng pasti hanya bosan. Tidak ada yang lebih buruk dari itu. Maka aku akan mempertahankan hubungan ini, batinnya.

"Widi," telapak tangan yang menutupi wajah Ajeng akhirnya terbuka, menuruni wajahnya, lantas kembali ke tempat semula.

Yang disebut namanya mengalihkan pandangan pada kekasihnya saat itu.

"Aku mencintaimu," si gadis masih enggan menatap pemuda di hadapannya. "Aku sungguh mencintaimu."

"Lalu kenapa kau memutuskan untuk berpisah denganku?" kata-kata Ajeng baru saja berhasil mencabik hati Widi. Untuk apa berpisah kalau masih mencintai? Nyatanya mereka telah lama bersama dan saling menyayangi. Atau gadis itu hanya ingin berbasa-basi kemudian berkata, 'kau terlalu baik untukku. Aku tidak pantas untukmu,'?

Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya. Bisu.

"Tak bisakah kau bersabar sebentar? Menungguku pulang dari Skotlandia tidaklah begitu lama, Gendis. Lantas aku akan melamarmu. Sabarlah sebentar."

"Tentu aku akan bersedia menunggumu, bahkan bila kau akan pergi hingga 2020, aku akan selalu menunggu lamaranmu," untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu, Ajeng menatap kekasihnya. Bibirnya bergetar pelan. Ia hendak berkata-kata namun kalimat yang akan terlontar sepertinya mustahil untuk diterima Widi. Jadi, Ajeng memutuskan untuk diam.

"Lalu apa yang membuatmu ingin memutuskan hubungan kita?" Widi menatap perempuan itu. Baru kali itu ia merasakan kekecewaan yang begitu besar pada kekasihnya. Lihatlah, adakah pemuda yang digantungkan oleh pacarnya sendiri selain si malang Widi?

"Ayahku tak ingin berlama-lama menunggu. Ia tak yakin akan kepastian lamaranmu, Widi."

"Apa yang ayahmu butuhkan, Gendis? Kemapananku? Saat ini aku telah ditunjuk sebagai konsultan di salah satu kota besar Britania Raya. Setelah lulus, aku akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar!" Widi sedikit membentak. Bagaimana tidak? Lihat saja sang ayah yang begitu tak sabaran dan memandang rendah Widi. "Atau adakah hal lain?"

Gadis itu menangis lagi. Kali ini isaknya lebih keras didengar. Tanpa disangka, kedua lengan Ajeng melingkari bahu Widi. Dipeluklah pemuda tersebut erat-erat. Bahkan mungkin itulah dekapan Ajeng yang paling erat diantara semua pelukannya pada Widi. Mungkin benar kata orang, bahwa rasa memiliki paling tinggi adalah ketika kita (akan)  kehilangan sosok yang kita cintai.

Widi sedikit tersentak. Tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan sebagai seorang kekasih pengertian. Kedua lengannya membalas pelukan Ajeng dengan melingkari pinggul si gadis serta dagu menempel di ujung kepala Ajeng. "Sudahlah," Ia menelan ludah, berusaha menyembunyikan kerasnya batu dalam hatinya. "Maafkan aku yang naif ini."

"Tidak. Kamu tak perlu meminta maaf. Aku lah yang seharusnya berlutut meminta maaf padamu, Widi." Ajeng melepaskan peluk itu. Sepasang mata misterius itu berani menatap Widi.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk membahagiakan ayahmu?"

Ajeng membisu lagi. Namun kemudian ia bertukas, mengalihkan pembicaraan. "Widi, bagaimana kalau aku dijodohkan?"

"Maksudmu?"

"Ayah menjodohkanku."

Napas Widi seketika tak teratur. Ia mengepalkan tangan. Ingin rasanya menghancurkan segalanya, namun nyatanya ia hanya dapat menggigit bibir dan tak sabar mendengarkan penjelasan Ajeng selanjutnya.

"Raden Dimasatya Joan, keponakan tercinta Sri Pakualaman X."

Tentu Widi tahu Dimas itu siapa. Mahasiswa lulusan terbaik Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Umum, kakak kelasnya sejak Sekolah Menengah Pertama. Orang paling hebat yang pernah ia temui. Tampan, kaya, bijaksana--sosok yang sempurna dan tentu saja bukan lawan yang selevel dengan Widi. Sekali maju, bisa-bisa Widi langsung ditebas seperti debu, kalah telak.

"Ayah akan menikahkanku dengan Dimas untuk alasan politik dan masalah derajat, Widi. Tentu aku tidak setuju. Lebih baik aku hidup bersamamu susah dan senang."

Widi termangu. Ini serius. Untuk apa main-main? Mereka sudah dewasa. Maka, biarkan semua mengalir seperti kata orang. Pasrah akan keadaan. "Gendis, kalau itu adalah yang terbaik bagimu, aku tak keberatan. Lagipula Dimas adalah pemuda yang sempurna. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan dengannya. Dimas pasti akan bertanggung jawab atas kamu. Percayalah," senyum getir tersungging di bibir pria itu.

Selalu ada jeda di setiap percakapan keduanya.

"Tapi, Widi, yang aku mau itu kamu. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain bersamamu. Karena tidak ada lelaki seromantis kamu. Kamu lah yang berhasil membuatku tersenyum hanya ketika seseorang menyebut namamu. Cuma kamu yang memanggilku Gendis. Kamu yang berhasil membuatku jatuh cinta dan memilihmu. Kamu yang mencuri hatiku, dan kamu yang harus bertanggung jawab, bukan Dimas," Ajeng tersenyum. Kedua tangannya meraih tangan Widi.

Matahari semakin lama bergerak ke arah barat. Namun belum juga sampai pada ujung horizon. Para pengunjung mulai beranjak dari lembah, pulang untuk beristirahat atau mengunjungi tempat nongkrong lain. Sementara sepasang kekasih di ujung tanduk itu saling bertatapan.

* * * *
Author's note
Untuk Bagian Tiga, mohon votes dan comments. Thanks.

YOGYAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang