Days 5 .5

4 1 0
                                    

Wajah kedua manusia yang berbeda jenis kelamin ini memang berdekatan. Bahkan mereka baru menyadarinya ketika beberapa menit kemudian dan menghasilkan semburat rona merah di masing masing wajah mereka.

Mereka kemudian sadar sendiri setelah pemikiran masing-masing yang membuyar.

"Maaf"

Rufina terdiam seolah tak mendengar. Hingga beberapa menit kemudian tetap sama. Tak ada perubahan.

Tentu hal itu membuat Vincent mengeryit bingung. Apa sangking malunya dengan hal sebelumnya ia harus terdiam seperti itu?

Diliriknya dalam diam. Wajah Vincent semakin merona ketika dia sendiri tahu bahwa wajah milik Rufina pula semerona miliknya.

Aku akan jantungan! Aku akan jantungan! Suara batin dan juga suara deguban jantung yang memacu demakin membuat pipinya memanas. Oh, hei.. ini belum waktunya musim panas, loh.

Diliriknya lagi Rufina, ia masih tetap terdiam dengan wajah menunduk malu. Jari jarinya yang lentik ia mainkan asal menyalurkan rasa malunya dengan kejadian yang sebelumnya.

"Ah.. emm, aku akan kembali kebawah" Vincent akhirnya kembali mengeluarkan suara. Berharap percakapan dimulai diantara mereka. Dia berdiri dan membersihkan celananya dari beberapa debuh yang menempel sebelumnya.

Aneh.

Itu selintas pikiran yang melesat cepat seolah ditembak dengan kekuatan cahaya kedalam pikirannya sendiri. Tapi dengan cepat pula ia menepis pikiran itu.

"Bel akan berbunyi sebentar lagi, dan.." omongannya tergantung, ia juga menatap wajah Rufina yang memang menandakan tanda kebingungan. ".. acaranya akan segera dimulai"

Rufina tetap terdiam. Ia sendiri tau kalau Vincent berbicara. Tapi yang ia bingungkan, kenapa berbicara tak memakai suara? Itu sama sekali tak terdengar.

Mereka kembali dalam suasana keheningan. Rufina sendiri makin bingung dengan raut wajah yang dibuat oleh Vincent sendiri. Ada apa dengan dirinya? Apakah dia dalam keadaan sehat atau tidak, sih?

Vincent sendiri menatap tak percaya. Ia memang tak sepintar temannya di kelas yang mendapat gelar jenius dikelasnya sendiri. Tapi setidaknya ia tau apa yang terjadi dalam Rufina. Hanya.. ia belum dapat memastikannya.

"Vincent.."

Baru saja sedetik Vincent akan menepis pemikirannya yang liar tentang Rufina. Kali ini ia berkeringat dingin melihat Rufina.

Tak ada. Kenapa tak ada? Wajah Rufina memucat ketika kata-kata, satu kalimat singkat keluar dari mulutnya sendiri. Ditatapnya Vincent juga yang ikut memucat---tak sepucat dirinya---- . Wajahnya memanas, bukan karna malu, marah, dan hal lainnya. Rufina akan menangis. Dan itu hal yang tak ingin dilihat oleh Vincent

"Aku tak bisa mendengar! Vincent.. bagaimana ini..." Tangannya meraih dan menutup telinganya sendiri. Diujung pelupuk matanya juga sudah ada tumpukan air mata yang akan tumpah kapan saja.

Walaupun ucapannya tak selancar biasanya karna tak dapat mendengar, setidaknya ia tau ia tengah berteriak. Melampiaskan emosi yang berbendung secara tiba-tiba.

Vincent tau ia tak bisa berbicara. Mulutnya secara tiba tiba terasa kaku. Tak bisa ia gerakan dengan kemauannya sendiri. Dan, juga. Apabila ia berbicara, Rufina sendiri tak akan tau apa yang ia bicarakan sekarang.

Diambil tindakan yang memang sebenarnya ----mungkin---- harus ia lakukan. Detik dimana tangis Rufina pecah dengan keras dan deras, Vincent memeluknya erat. Semakin tangis Rufina memuncak, semakin erat pula pelukannya. Tangannya yang satu lagi juga menepuk pelan puncak kepala Rufina. Alih-alih mencoba menenangkan Rufina sejenak.

7 Days [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang