Subuh Hari Ini: Aku Kembali

166 5 5
                                    

Pagi yang segar. Matahari belum benar-benar muncul. Masih remang-remang. Pagi yang berbeda namun juga sebenarnya sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi di bulan-bulan hujan. Kemarin hujan menderas sejak pagi hingga menjelang siang, sore terang sekejap, dan tengah malam kembali hujan. Pagi ini tinggal sisa-sisanya saja yang terlihat. Becek di banyak tempat, embun pekat.

Pagi semacam ini mungkin dingin bagi orang lain, tapi terasa segar bagiku. Mungkin karena suasana hatiku yang bisa dibilang cukup bahagia—atau bahkan mungkin amat bahagia pagi ini.

Aku mengembuskan napas kuat dari mulutku. Tersenyum kecil. Terlalu bersemangat untuk menjalani hari ini. Tanganku pelan mengusap kaca yang berembun. Mencuri pandang pada matahari yang perlahan mulai naik tahta di sela-sela awan yang masih dengan bahagianya bergelantungan di latar langit. Dingin mencubit kecil ujung jariku, sedikit beku, namun hanya sampai ujung jari saja, sebab hatiku sedang bahagia. Ada kobaran tak kasat mata yang melelehkan kebekuan pagi ini.

Aku bahagia.

Sepagi ini.

Semoga bertahan hingga esok pagi lagi.

*****

Dari kursi penumpang yang kanan-kirinya masih lengang, aku sedang ada di gerbong kereta kedua pagi ini. Aku pulang. Itulah sebabnya aku begitu bahagia. Sudah sekitar lima tahun lebih aku sama sekali tidak menyentuh rumah. Bukan minggat. Aku baru saja mengusaikan pendidikanku. Tapi bukan baru selesai wisuda lantas mendapatkan gelar sarjana, yang ku tempuh pendidikan agama. Aku baru pamit boyong dari pondok.

Mungkin sebenarnya waktu lima tahun adalah waktu yang singkat untuk aku menempuh pendidikan agama. Hanya saja, ada misi lain yang harus membuatku pulang tanpa perlu lagi ditunda. Dan aku berdoa, semoga waktu lima tahun ini bisa membentukku menjadi orang yang lebih baik, lebih pantas, dan bisa bermanfaat bagi orang lain.

Entah kenapa gerbong yang ku tumpangi terisi sedikit sekali penumpang. Padahal ini bulan-bulan mudik dan hilir. Akhir tahun. Banyak yang pulang, banyak juga yang pergi plesir menghabiskan libur panjang.

Lengang. Mungkin di stasiun sebelumnya banyak penumpang yang turun, tetapi hanya sedikit penumpang yang naik. Atau para penumpang lebih suka duduk di gerbong-gerbong belakang, menolak untuk duduk di gerbong depan dengan berbagai alasan. Ah, entahlah. Sejak kapan penumpang kereta bisa memilih tempat duduk semaunya sendiri. Pikiranku semakin konyol saja sejak semalam.

*****

Lima menit kereta berhenti. Sejak tadi di gerbong ini sepertinya hanya ada aku, dua orang pemuda di seberang tempat dudukku, keluarga kecil di ujung gerbong belakang, dan kalau tidak salah, tadi aku melihat sepasang suami istri berjalan melewati tempatku sekarang—mungkin mereka duduk di ujung gerbong depan, istrinya bercadar.

Cadar. Melihatnya membuatku teringat sesuatu.

Lima tahun lalu, saat baru berangkat ke pondok, aku juga pergi menggunakan kereta. Hanya saja kereta yang ku tumpangi tak sepagi ini. Sekitar pukul sepuluh pagi aku berangkat.

Dulu aku juga berada di gerbong kedua, sama seperti sekarang. Entahlah, mungkin aku berjodoh dengan gerbong nomor dua—kebetulan aku juga anak kedua dari dua bersaudara—, atau jangan-jangan jodohku ada di gerbong nomor dua? Ah, lagi-lagi aku berpikir gila.

Pagi itu aku duduk di ujung gerbong belakang. Aku sebenarnya tidak terlalu suka duduk di ujung, bau toilet!

Tapi, ya sudahlah. Mau pindah juga kemana, bulan-bulan akhir tahun biasanya memang ramai penumpang. Lagi pula repot kalau duduk tidak sesuai nomor kursi yang telah didapatkan, harus terusir saat pemilik tempat yang sesungguhnya datang.

Bila NantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang