Pukul Enam: Celetukan Pertama

72 4 4
                                    



Anggapanku tentangnya beberapa waktu yang lalu sebelum tidur menguap sudah. Kukira dia bukan seorang muslim, tapi bacaan Al-Quran yang baru saja kudengar tadi mematahkan anggapan itu. Tartilnya bagus, tajwidnya juga baik. Namun, entah kenapa tiba-tiba ia menghentikan bacaan Al-Qurannya. Menoleh padaku.

"Suara saya terlalu keras, ya? Maaf ya, Mas. Jadi keganggu tidurnya," ujarnya menyesal. Sepertinya ia menyadari bahwa aku memperhatikannya sejak tadi.

"Oh, enggak kok, Mas. Suaranya bagus. Saya nggak nyangka, ternyata Mas itu muslim toh," jawabku dengan senyuman kikuk. Dia nampak tersenyum sekilas. Menggumamkan sesuatu, kemudian menutup Al-Qurannya. "Wah, jadi nggak enak. Berhentiin masnya ngaji saya jadinya."

"Nggak kok, saya juga sudah dari setengah jam yang lalu bacanya." Ujarnya lalu memasukkan Al-Quran saku itu ke dalam tas kecil slempangnya. "Oiya, panggil saja saya Yusuf." Tangannya terulur memperkenalkan diri. Aku menyambutnya bersama anggukan kecil dan menyebutkan nama.

"Mas Ardi tadi ngiranya saya non-muslim, ya?" tanyanya.

"Panggil Ardi aja, Suf. Kayaknya kita seumuran."

Aku malu sendiri sebenarnya. Lebih tepatnya sungkan—Kenapa harus menanyakan hal itu tadi?—. Pertanyaan yang sepertinya terkesan sarkatis. Aku jadi tak enak hati. Padahal sebenarnya ia menjawab dengan nada bersahabat, senyumnya juga ramah, tidak menunjukkan perasaan tersinggung sama sekali.

"Kebanyakan orang yang belum pernah kenal saya ngiranya juga gitu, Di." Lanjutnya. "Saya memang keturunan tionghoa. Kulit putih, mata sipit, chinese bangetlah pokoknya," ujarnya dengan senyum lebar—tertawa kecil. "Jadi nggak heran sih, kalo pada nggak ngira saya ini muslim, soalnya mayoritas keturunan tionghoa memang non-muslim."

Aku tersenyum sekilas. Mengangguk, membenarkan.

"Saya muslim, tapi saya dulu nggak semuslim sekarang." Lanjutnya kemudian. Bibirnya mengulas senyum tipis, matanya memicing, seperti menerawang masalalu.

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Ceritanya Panjang," kalimat pemuda chinese di sampingku itu menjeda. Ia membenarkan posisi duduknya. Siap untuk bercerita.

"Saya lahir dari kedua orangtua muslim. Mereka keturunan tionghoa tulen. Dari lima bersaudara, ayah saya muslim sendiri. Dan dari dua bersaudara, ibupun muslim sendiri. Jadi, saya praktis hidup dalam keluarga yang mayoritas bukan kalangan non-muslim." Sepertinya kisah hidup Yusuf ini menarik.

"Tapi meskipun begitu, orangtua saya adalah muslim yang taat. Ibu saya langsung berhijab setelah mengucapkan kalimat syahadat dua puluh lima tahun yang lalu. Meskipun, ya... kamu pasti sudah bisa menebak, bagaimana hidup menjadi minoritas dalam keluarga—apalagi dalam hal ini kepercayaan sebagai pembedanya. Tapi, lambat laun kakek-nenek dan keluarga lain juga menerima keputusan papa dan mama dengan Islam sebagai kepercayaan yang dianut.

"Dengan banyaknya tekanan sebelum keluarga bisa menerima keputusan papa dan mama, saya akui kedua orangtua saya adalah orang yang kuat. Mereka mendidikkan Islam secara baik kepada saya, sambil mereka juga masih berusaha memperdalam Islam jauh lebih dalam lagi—namanya juga mualaf. Mereka mengajarkan Islam dengan baik kepada saya dan kedua adik saya. Dua adik saya perempuan—entah karena masih kecil atau sifat mereka yang penurut—, mereka mempelajari Islam dengan baik-baik saja. Cuma saya yang agak bandel." Lagi-lagi, ia mengulas senyum tipis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bila NantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang