Ayah sudah bangun pagi-pagi. Melangkah sayup di antara lengket mataku. Menggeber motor berkeranjang besar di kanan kiri.
Pagi hari, ketika aku masih lelap, Ayah menebar tawa pada manusia-manusia riang. Menemui amarah di sela jejal kepala bermata bengis, bermulut pedas.
Suaranya menggelegar, namun sang pemalas tak beranjak dari peraduan. Ayah; setiap hari melihatku lunglai di atas dipan berkalung kemalasan.
Suatu pagi yang gelap, telapak Ayah menyentuh punggungku. Panas, menggigil. Ayah tak bicara namun peduli.
Suatu pagi yang penuh derai air mata. Di petak kecil ruangku di Jakarta. Ayah hadir dalam keranda. Ayah pergi. Kukejar-kejar namun tak kembali. Aku terbangun, terburu, gemetar, tersengal, lalu ada yang tak terbendung di dada.
Ayah masih ada. Di sana. Bangun pagi dan melihatku dalam doa.
Jakarta, 27 Desember 2016