Bakat

33 0 2
                                    

The pretty, popular, perpect Patricia Hadikusuma. Entah apalagi pujian dan sanjungan dari penggemar fanatiknya, menjurus gila. Minggu lalu dia memenangkan lomba, lagi. Juara debat. Entah debat masalah apa? Ku pikir hidupnya memang penuh dengan perdebatan. Debat positif oke lah tapi Si Otak Berlian itu nggak sadar kalau mulut tipis imut ciptaan Tuhan itu dia gunain buat ngeluarin jutaan kerikil tajam di zona pribadi orang lain, sakit pengen jerit-jerit yang dengernya. Kalau bukan karena papa yang nyuruh sekolah disini....

"Putri Hanan!!!"

Suara itu cukup keras untuk membuyarkan gejolak batin Putri.

"Ya, Bu!" Putri sontak kaget mendengar namanya dipanggil.

Duduknya kembali bersedekap pada meja di depannya. Ruang konseling. Hampir lupa kalau dia sekarang berada di situ karena gadis di sampingnya. Siapa lagi?

" Patricia Hadikusuma."

Tak ada penekanan saat Bu Ana memanggil nama Si Otak Berlian, pikir Putri.

"Entah ini yang ke berapa kalinya? Ibu sudah bosan mendengar kalian setiap hari bertengkar, berkelahi. Sampai kapan?"

Jangankan ibu yang cuma mendengar. Selama enam bulan sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini dia sudah begitu. Perkataannya kasar, kadang menyenggol, mendorong. Hari ini penggemarnya memasang selebaran di mading untuk segera mengeluarkanku karena telah menyerang idolanya sampai pingsan beberapa hari yang lalu. Aku diserang secara fisik dan mental. Apa aku harus diam? Kenapa ibu tidak tanyakan padanya, kenapa harus aku?! Aku gak cukup setara sehingga eksistensinya di sekolah ini merasa terancam.

Bu Ana terus bicara sementara Putri sibuk dengan pikirannya sendiri. Terakhir Bu Ana menyuruh mereka berdua melakukan tugas untuk menuliskan sebanyak-banyaknya kelebihan temannya itu. Putri hanya manggut-manggut walau sebenarnya ia tak mendengar kalimat terakhir Bu Ana. Setelah selesai diberi nasihat, mereka dipersilahkan masuk ke kelas masing-masing.

Bel istirahat berdering....

Orang-orang haus gosip sudah berkerumun di luar ruang konseling.
Putri dan Pat keluar tanpa mengucapkan apapun. Apalagi berjabat tangan meminta maaf. Menyaksikan itu Bu Ana hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Putri tak menyadari keberadaan Nil di luar. Ia hanya tertunduk berjalan menuju kelasnya. Selera makannya hilang. Sayup terdengar teman-temannya berkata,"kenapa dia bisa masuk ke sekolah bergengsi, prestasi apa yang sudah ditorehkannya? Bahkan bakatpun ia tidak punya. Berani-beraninya dia berbuat seperti itu sama Pat."

***

Putri tak bisa tidur. Gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ia bangun menghadap cermin, mengambil eyeliner yang sengaja ia beli tadi siang. Ia mulai melukis matanya meski ia tak tahu cara memakainya.

Putri PatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang