Duka Cuka

7 0 0
                                    

Tak butuh tenaga yang besar untuk mendorong pintu hingga tubuhnya bisa segera masuk kamar nomor tiga itu, tapi kakinya terasa kaku. Ia hanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka hingga kemudian Niku mendorong dan mengendalikan tubuhnya hingga bergerak cepat. "Aku nggak sabar mau lihat orang yang udah bikin sahabatku ni klepek-klepek." gumamnya di samping telinga Putri.

Rain tengah mengancingkan baju dengan tangan terpasang infus saat Putri dan Niku tiba tepat di hadapannya. Kepalanya masih tertunduk berusaha memasukan kancing pada lubangnya.

"Patt, abang denger kamu bikin ulah lagi di sekolah."

"Ehem, kalau Nil itu cool. He's charming." Bisik Niku di samping telinga Putri yang membuatnya geli. Bisikan itu menyadarkan Rain, sorot matannya membuat dua gadis itu menelan ludah.

"Eh rupanya Putri." Sedikit bingung karena ia tak begitu mengenal dua gadis di hadapannya, hanya sekali bertemu Putri dan berkenalan alakadarnya. Namun ia tak dapat menyembunyikan rasa senangnya karena mereka adalah pembesuk pertamanya.

Rona kebahagiaan terpancar di wajah Putri. Hore! Rain masih mengingat namanya.

"Makasih udah mu nengok. Musti kasih hadiah ni berhubung kalian pembesuk pertama. Emang Patt ngasih tahu abang...." sedikit ragu dengan ucapannya. "Panggil abang aja ya biar akrab! Kalian masih seumuran adekku juga. Patt yang ngasih tahu abang di rawat disini? Atau kalian emang disuruh ngewakilin dia?"

Sebenarnya bukan Patricia yang ngasih tahu tapi orang lain. Heran kemana tu anak kalau nggak nengokin abangnya. Pembesuk pertama?! Miris amat. Kemana perginya keluarga dua bersaudara ini. Ngewakilin? Dia pikir mau ngambil raport. Keduanya hanya saling berpandangan.

"Kebetulan tadi pagi saya ngeliat kakak kecelakaan. Maaf tadi pagi nggak bisa ikut nganterin. Gimana  keadaan kakak sekarang?"

"Jadi benar kamu yang tadi pagi itu. Maaf abang gak bisa lihat dengan jelas. Alhamdulillah Put. Nggak ada luka dalam cuma luka ini." Rain menunjuk pelipisnya.

"Ehem. Ada yang kenal aku nggak ya disini, biar bisa ngobrol juga?"

"Hehe lupa. Kenalin dia temenku, Kak."

"Niku." ia menyodorkan tangannya pada Rain. Disambut oleh Rain dengan hangat. Iapun mempersilahkan mereka duduk di sofa yang tersedia.

Pembicaraan ringan antara ketiganya begitu hangat. Diselingi tawa riang, sesekali Rain menyeka air yang keluar dari matanya saking senangnya. Entah apa nama hubungan antara mereka ini. Hal itu menjadi dasar pertanyaan Rain.

"Seru, kalian seru banget. Coba aja Patt bisa secair kalian. Dia tuh padet banget. Keras. Terlalu serius. Kalian orang asing yang hanya baru sekali bertemu, kedua kalinya sama Putri tapi kalian mau meluangkan waktu buat nengokin orang yang juga asing buat kalian?"

"Suka nggak suka tapi sesama muslim emang bersaudara kan.Nggak ada yang asing. Yang menjadikan asing itu jarak. Karena ketidaktahuan atau mungkin ketidakmauan kita mengenal saudara kita."

Kata-kata itu keluar dari bibir mungil  Putri seolah menampar egonya sendiri. Ketidaktahuan dan ketidakmauan ia mengenal Patricia yang menjadi musuhnya. Tapi ia begitu ingin tahu tentang Rain lebih dari orang lain di bumi ini. Human.

"Wow! Itu luar biasa! Terima kasih sudah memberikan obat mujarab bagi si sakit ini." ujar Rain.

Putri hanya mengangguk malu-malu. Niku hanya terbelalak, ia berpikir bagaimana reaksi Rain kalau seandanya ia tahu Putri yang selalu bertengkar dengan adiknya.

***

Nil sudah berada di parkiran saat Putri dan Niku keluar dari rumah sakit.

"Kok gak nyamperin?" tanya Putri.

"Eem." Nil hanya menggeleng.

"Belum terlambat bilang maaf kan? Sorry bro! Makanya Lain kali jangan godain gadis sembarangan!"

"Yaelah gadis apaan yang kasar gitu?" Sahabat Putri beralih membela idolanya.

"Nik, kamu tuh temen sapa sih?"

"Temen kalian bedua lah. Cuma yang tadi di toko buah tu  kasar banget."

"Itu spontan aja gak ada niat buat nyakitin siapapun."

"Oke Sen Pei!"

"Sen Pei? macam udah jago aja, masih dangkal keles."

"Emang sekarang masih lanjut latihan, kakinya udah gak sakit lagi?"

"Udah ah pulang yuk! Kalau gak niat nengok ngapain masih nunggu?  Dari tadi pulang duluan aja." Dengan juteknya Putri meninggalkan Nil.

***

Sesampainya di gerbang depan rumah Nil tidak langsung masuk rumah ia menunggu Putri yang memilih naik taksi.

Pak Kisno yang melihat dari pos satpam memberi kode kalau Nil harus segera masuk karena kakeknya begitu marah. Ia membukakan gerbang.

"Cepet masuk Den!"

"Bentar Pak." Nil berkata dengan mulut yang hanya sedikit terbuka menahan rasa sakitnya,  dari kejauhan taksipun muncul.

"Aden gak apa-apa?" Pak Kisno melihat wajah Nil dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat- singkatnya karena Nil langsung memalingkan wajahnya.

Sebuah taksi berhenti. Putri membuka pintu dan melambaikan tangan pada Niku yang masih harus menempuh perjalanan selama sepuluh menit lagi menuju rumahnya. Pintu kembali ditutup.

"Cemen gak berani masuk sendirian ya? Musti sering digerakin rahangnya biar gak kaku, kalo gak bisa ngomong ntar dijadiin tumbal." Putri menggandeng Nil ke dalam.

Kakek memang benar- benar marah kali ini. Putri yang semula ingin membela diri dan mengerjai dengan menumbalkan Nil atas kesalahannya jadi urung. Nyatanya hal itu tidak perlu dilakukan karena kakek lebih marah pada Nil dan menyuruh Nil agar lebih bisa menjaga dan melindungi saudarinya.

"Bagaimana bisa jagain saudarimu, jaga diri sendiri aja gak bisa."

Nil bisa saja masuk lebih dulu ke rumah tanpa harus menunggunya, dengan begitu dia tak harus bertanggung jawab karena lalai menjaganya. Putri merasa bersalah atas kejadian ini.

Setelah kakek memberi nasihat plus marah Nil berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Putri hanya mengekor dari belakang. Ia berlari menyusul.

"Makasih udah jadi saudara terbaik. Semoga Allah membalas kebaikanmu bruder."  Putri meraih tangan Nil dan menggenggamnya erat.

"Aamiin." Dengan wajah datar ia terus berjalan lurus. "Tapi gue gak sebaik yang lu kira."

Putri mengernyitkan dahi.

" Gak akan ada yang berubah. Aku akan tetap berterima kasih. Rasa terima kasihku gak akan cukup untuk kebaikanmu juga keluargamu. Aku sudah terbiasa dengan kemarahan kakek, ketegasan papa dan kejahilanmu memperlakukan aku, tapi dibalik semua itu ada kasih sayang. Kalau ternyata kamu gak merasa, keluarga ini tetap membuatku bisa merasakan kemarahan dan pelukan at the same time. Hehe."

Putri memaksakan dirinya tersenyum meski air matanya siap untuk terjun ke jurang kesedihan yang dalam.
Kesedihan masa lalu sebelum Pras menemukannya.

Kesedihan pula yang kini Nil rasakan karena Putri yang dulu ia perlakukan begitu buruknya mampu bertahan bahkan masih bisa bersikap baik, kadang ia melawan tapi itu manusiawi.

Hari ini ia batal. Membatalkan diri untuk memandang Putri biasa saja. Ia luar biasa dengan caranya. Hanya dia  yang bisa melihat itu. Dibalik ketenangnya ia tak pernah rela Putri dibully, tapi ia yakin Putri jauh bisa menyelesaikan masalahnya lebih indah dari yang ia bisa.

Ia mencuri dengar pembicaraan Putri dan Rain di rumah sakit. Otaknya bersikeras meneriakkan 'be a good brother' berkali-kali tapi hati kecilnya berbisik 'be a strong fighter'.

Mana yang harus ia ikuti?

















Putri PatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang