3. What The Fuck?!

66 5 0
                                    

Bel yang ditunggu-tunggu oleh seluruh murid SMA Cendika akhirnya berbunyi. Membuat lorong yang tadinya sepi menjadi ramai layaknya pasar ayam. Berbeda dengan ketiga gadis ini yang masih berada dikelas.

"Rel, si Kevin sama curut-curutnya itu mau diapain?" tanya Renita pada Relly yang masih membereskan bukunya.

"Liat aja ntar, lo pesenin taksi aja." Relly menghendikan bahunya acuh lalu menyampirkan tasnya di bahu kanan. Dia berjalan keluar kelas menuju parkiran.

Sesampainya di parkiran dia bukan langsung menuju tempat mobilnya terparkir melainkan ke parkiran motor. Dia melihat Kevin, Sean dan Andrean sedang bercanda ria sambil duduk diatas motornya masing-masing.

"Turun lo!" ucap Relly sedikit keras sehingga menjadi pusat perhatian.

Kevin menaikan sebelah alisnya, "Gue?" jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

Relly mengangguk. "Iyalah, turun lo."

Mereka bertiga turun dari motornya masing-masing dengan dahi berkerut. Detik selanjutnya membuat semua mata yang disana ingin meloncat keluar.

Relly menendang 3 motor itu sampai saling menumpuk satu sama lain. Dia menepuk-nepuk kedua tangannya seperti habis mengerjakan sesuatu.

Dan dengan santainya dia berkata, "Satu sama." lalu pergi begitu saja meninggalkan tiga lelaki itu yang masih setia dengan wajah cengonya mereka.

RESYA ANJING!!!

Siapa tuh yang ngomong? Batin mereka. Mungkin?

***

Diruangan bernuansa putih-biru itu mereka berada, salah satu ruangan di Apartement milik Relly atau lebih tepatnya kamarnya. Mereka dengan tenang duduk bersisian diatas ranjang sambil menonton film pembunuhan yang ditayangkan di tv.

"Itu pembunuhnya hebat banget kagak ketauan mulu,"

"Ih najis. Gila banget tuh cewek masa ngga pake celana?"

"Kenapa jadi tulisan begini? Filmnya mana???"

Cerocosan dari Resya sedari tadi mendengung ditelinga Renita dan Relly. Mereka jadi tidak fokus menonton karena berusaha meredam emosi agar tidak mengikuti jejak pembunuh di film yang mereka tonton.

"Itu filmnya udah selesai, bego!" seru Renita penuh emosi sambil menjitak kepala Resya.

Tahu apa respon Resya selanjutnya?

"Hah?!" cuma itu. Gak lebih gak kurang.

"Ah, cape gue ngomong sama lo! Mending gue makan." ucap Relly sambil turun dari kasurnya itu lalu mengambil langkah seribu menuju dapur diikuti Renita.

"Lah kan yang ngomong sama gue tadi si Renita, napa die yang rusuh. Relly bego emang." sepertinya Resya nggak punya kaca dirumahnya. Ada yang mau nyumbangin?

Relly dan Renita sedang berada didapur, mereka sedang memasak spagethi instan. Suara langkah mendekat membuat mereka mendongak. Mengalihkan pandangan sebentar lalu kembali melakukan aktivitas mereka yang sempat tertunda tadi.

"Kok cuman bikin dua?" tanya Resya yang ternyata membuat suara langkah tadi.

"Emang harus bikin berapa?" Relly balik bertanya.

"Kalo dua kan berarti cuman buat dua orang." ucap Resya polos.

"Emang cuman ada dua orang kok, gue sama Relly." Renita menunjuk dirinya sendiri dan Relly.

"Ah, kalian berdua mah jahat sama gue. Dedek gak bisa diginiin bang. Dedek juga laper.." Resya mendramatisir keadaan.

"Yee, bikin sendirilah! Noh udah gue siapin airnya. Baikan gue," jawab Relly menunjuk panci yang berisi air diatas kompor. Bagaimana pun dia masih peduli sama sahabatnya yang satu itu.

"Relly emang dabes deh!" Resya tersenyum lebar sambil mengacungkan kedua jempolnya, lalu mulai bergabung dengan kedua sahabatnya di dapur. Selanjutnya mereka tenggelam dalam dunia masing-masing.

***

Sesudah mengisi perutnya tadi, mereka sekarang sudah tertidur pulas di kamar Relly. Tapi tiba-tiba Relly terbangun tengah malam karena sakit dikepalanya dan ada sesuatu yang mengalir dari rongga hidungnya. Ternyata itu darah.

Masa gue kambuh lagi? Batinnya sambil menahan sakit.

Relly berjalan sedikit terhuyung kearah kamar mandi. Dia membasuh hidungnya perlahan guna membersihkan darah yang masih terus merembes sampai baju yang ia pakai kini tertinggal noda bercak darah.

Setelah dirasa cukup bersih dia lantas menyambar se-plastik es batu yang sengaja ditaruh di dalam kulkas kecil di kamar mandi itu. Dia menyumpal hidungnya dengan es batu sambil duduk di closet yang ditutup. Dirinya cukup lama terdiam sambil memejamkan mata guna menghilangkan sakit dikepalanya.

Bukannya dia tak mau berobat atau apa, dia memakan obat-obatan yang diberikan dokter hanya kalau dia ingat. Dia juga tak mau dianggap lemah, jadi tidak ada yang tahu tentang penyakitnya sekalipun itu keluarganya sendiri.

Setelah dirasa mendingan, dia berdiri lalu membersihkan noda darah yang menetes dilantai. Dia juga langsung mengganti bajunya dengan yang bersih kemudian kembali tidur bersama kedua sahabatnya. Untungnya, tidak ada darah yang menetes di area kamar jadi dia tidak perlu membersihkannya.

Bertepatan dengan dia menutup mata, satu bulir air matanya jatuh.

Tbc..

Lost In The MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang