4. Relly : Geting Weard

66 4 5
                                    

Sebelumnya..

Setelah dirasa mendingan, dia berdiri lalu membersihkan noda darah yang menetes dilantai. Dia juga langsung mengganti bajunya dengan yang bersih kemudian kembali tidur bersama kedua sahabatnya. Untungnya, tidak ada darah yang menetes di area kamar jadi dia tidak perlu membersihkannya.

Bertepatan dengan dia menutup mata, satu bulir air matanya jatuh.

  ***

Hari Selasa. Masih hari sekolah bagi Relly, Renita dan Resya. Tapi mereka kesiangan. Salahkan pada Resya yang karena terganggu bunyi jam weker, dia membanting jam itu dan tidur kembali.

"Ini dasi gue kemana sih??" teriak Renita geram sambil muter-muter didekat kasur. Dia sudah mencari kesegala penjuru daerah dari Sabang sampe Merauke. Tetap saja dasinya tidak ketemu. Eh.. Kejauhan gak ya? Bodolah

"Lo liat sabuk gue gak Ren?" tanya Relly sambil melakukan kegiatan yang sama dengan Renita.

"Kagak tau lah. Ini juga gue lagi nyariin dasi gue! Arghh.. Kemana sih tuh dasi! Susah bener kayak nyari doi." teriak Renita frustasi.

"Yaudah sih, selow aja ngomongnya." Relly kemudian sibuk lagi dengan acara cari-mencarinya.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka memunculkan Resya yang baru saja selesai mandi. Ekspresinya seperti kebingungan.

"Napa lo?" tanya Relly.

"Ini tadi gue kan mau pake seragam, nah gue bingung kenapa ada 2 dasi sama 2 sabuk. Punya gue kan cuman satu, yakali gue pake dua-duanya." ucapnya polos sambil menunjukan sebuah dasi dan sabuk dikedua tangannya.

Kedua sahabatnya menepuk dahi satu sama lain.

"Temen lo tuh!" ucap mereka serempak.

Relly dan Renita menyambar dua benda itu dari tangan Resya. Sedangkan Resya hanya menyernyitkan dahinya bingung.

***

Disinilah mereka. Berdiri dibawah teriknya matahari menghadap tiang bendera sambil menjewer telinga masing-masing. Ini menjadi hukuman mereka karena telat. Sekalipun Relly adalah anak dari pemilik yayasan, tidak ada perlakuan yang dibedakan antara dirinya dengan murid yang lain. Semua sama.

Melanggar aturan. Kena hukuman.

Relly tiba-tiba merasakan sakit dikepalanya. Pandangannya pun ikut memburam.

Ngga-ngga jangan sekarang! batinnya ingin menolak.

Namun batin tidak pernah didengar,kan? Relly merasakan ada yang mengalir dari rongga hidungnya. Itu cairan agak kental berwarna merah. Darah.

Dia buru-buru menutupinya dengan tangan dan mengadahkan kepalanya keatas.

"Lo kenapa Rel?" tanya Renita membuat Resya juga mengalihkan pandangannya menuju sahabatnya itu.

"Gak papa," namun Relly langsung berlari meninggalkan kedua sahabatnya itu dengan wajah kebingungan.

"Lo ngerasa ada yang aneh gak sih sama si Relly akhir-akhir ini?" tanya Renita.

"Aneh gimana?" Resya mengerutkan dahinya bingung. Menurutnya tidak ada yang aneh dari Relly, kecuali dia yang tiba-tiba lari tadi.

"Tadi malem kan gue sempet kebangun, ternyata Relly gak ada dikasur pas gue cek lagi dia di dikamar mandi ternyata." tutur Renita.

"Ya, terus?" Resya semakin dalam mengerutkan dahinya.

"Di depan kamar mandinya kayak ada bercak darah gitu," tutur Renita sambil mendekatkan dirinya kearah Resya, berbisik.

Mereka berdua terdiam cukup lama dengan wajah berfikir.

Ada apa sebenarnya dengan Relly? Batin mereka bertanya.

***

Relly POV

Gilaa ini kepala gue sakit banget. Gue tadi lari dari mereka karena nggak mau mereka tahu dulu. Mungkin nggak sekarang.

Untung koridor udah sepi. Kalo nggak? Gue pasti ditanyain mulu.

"Relly!" aduh siapa sih nih yang manggil gue? Nggak tau apa nih pala rasanya kayak mau pecah.

Gue berbalik untuk melihat siapa orang yang manggil nama gue.

"Kevin?!" gue bingung sekaligus kaget. Ngapain ni curut manggil gue?

"Lo disuruh Bu Anik ke BK noh!" teriaknya yang berdiri 5 meter dihadapan gue. Baguslah, jadi dia gak bakalan liat gue lagi mimisan.

"Iya!" gue bales berteriak. Gue ngeliat dia mengerutkan dahinya bingung. Kenapa? Ada yang salah?

Dia cuman mengangguk lalu berbalik dan lanjut berjalan meninggalkan gue yang semakin kesakitan, sebenernya. Pinter banget ya gue acting-nya?

Sampe-sampe gak ada yang ngira kalo gue itu lagi sakit. Sekarang tujuan gue adalah loker. Buat ambil obat dari dokter.

Sesampainya di loker, gue langsung ngambil sapu tangan dulu dan menyumpal hidung gue pake itu. Setelah itu ngambil beberapa obat yang harus gue minum. Ya, nggak cuman satu obat yang harus gue minum tapi banyak.

Huft.. Untunglah sakitnya agak mendingan, mimisannya juga udah berhenti.

Gue keinget pesan Kevin. Kaki gue melangkah menunju ruangan laknat itu dengan santai. Gue ketuk pintu berwarna putih itu.

Tok tok tok

"Masuk!" ada suara yang nyahut dari dalem. Gue pun masuk,

"Assalamualaikum.." salam gue.

"Waalaikumsalam.." Bu Anik menjawab.

"Ada apa Bu manggil saya?" tanya gue begitu duduk dihadapannya.

"Ibu cuman mau nanya, hotel yang akan kita pakai di Bali sudah siap? Kalo belum Ibu yang akan pesankan." oh, masalah study tour..

"Udah kok Bu, tapi saya pesennya bukan hotel. Seperti rumah, jadi setiap kelas satu rumah." tutur gue.

"Loh, jadi cewek-cowok disatuin gitu?" tanyanya dengan wajah tak percaya. Boleh ngakak nggak?

"Ibu tenang aja dirumahnya ada 4 kamar. 2 untuk cewek 2 untuk cowok." gue emang sengaja bikin kayak gini. Biar lebih seru kalo ada cowoknya. Keren gak? Ea ea.

"Oh, yasudah kalo begitu. Silahkan kembali ke kelas." ngusir nih ceritanya?

Gue pun pamit dan keluar dari ruangan itu. Oh iya! Dua sahabat gue itu apa kabar? Kacian mereka panas-panasan..

"Ren! Sya! Sini," teriak gue dari pinggir lapangan. Mereka menghampiri gue dengan peluh yang udah kek lari 70 keliling. Buset! Jibrug banget.

"Apa?" kompak bener ni anak dua.

"Bolos yuk!"

***

Tbc..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost In The MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang