3. Alasan Sava

1.8K 99 5
                                    

Menjadi anak tunggal tak ayal membuat Savanna kesepian. Pasalnya  orang tuanya yang selalu menemaninya. Ayahnya memang sibuk bekerja di perternakan tapi selalu ada waktu untuknya. Kapan pun itu. Sedangkan Ibunya yang hanya sebagai Ibu rumah tangga tentu saja selalu ada dirumah. Dan juga, sepupu-sepupunya yang sering mendatangi rumah Sava.

Sava tidak memiliki alasan untuk kesepian.

Tapi, dulu saat umurnya menginjak dua belas tahun, Sava tiba-tiba merenggek minta seorang adik. Dia iri melihat teman-temannya yang selalu ke sekolah dengan adik mereka.

Saat itu, Sava tidak tahu apa alasan sampai Ibunya menangis saat Sava merengek hal seperti itu. Yang dia fikirkan, mungkin saja Ibunya sedih karena dirinya yang menangis seperti itu. Itulah sebabnya dia berhenti menangis dan meminta baik-baik pada Ibunya.

Namun, sepertinya takdir memang tak memberikannya untuk mempunyai seorang adik. Setelah beberapa tahun kemudian, saat dia berada di bangku SMA. Dia baru tahu alasannya.

Ibunya sudah tidak bisa hamil lagi. Karena Ibunya pernah operasi kista pada rahimnya. Dan Sava tidak tahu itu.  Saat tahu hal ini dari Ayahnya, Sava menangis sampai menggurung diri seharian dikamarnya.

Dia sangat sedih dan juga menyesali sikap kekanakannya yang merenggek pada Ibunya dulu dan berjanji tak akan membuat Ibunya sedih lagi.

Hingga sampai kini, Sava tak pernah sekali-pun membahas perkara anak dengan Arkan. Ibunya sampai memarahinya karena umurnya sudah matang untuk memiliki seorang anak.

Tujuan pernikahan itu tak jauh-jauh untuk memiliki keturunan. Itulah yang Sava tak pernah mengerti. Menurutnya pernikahan hanyalah tentang kebahagiaannya. Kebahagiaan dengan dunianya sendiri tanpa pernah berfikir apakah Arkan bahagia dengan keadaan mereka saat ini.

Entah karena mengerti atau canggung untuk menegur Sava, Arkan sekali-pun tak pernah menyinggung perkara anak di depan Sava. Namun, kalau sampai Arkan bertanya Sava berjanji akan menjawabnya. Apakah dia siap atau belum, dan sampai saat itu, dia berharap bahwa dirinya sudah siap agar tidak mengecewakan lelaki gondrongnya itu.

Sava tersenyum kecut dengan pemikirannya.

"Makan, Va. Berhenti senyum-senyum. Senyum ngak bakalan bikin kenyang." Tegur Ayahnya. Sava sangat heran dan begitu ingin bertanya. Sebenarnya apakah dirinya ini benar-benar anak Ayah dan Ibunya ? Bagaimana tidak? Sifat Arkan begitu sama dengan Ayahnya, sangat hobi menggangunya.

"Ih, Ayah jangan jadi Mas Arkan deh." Sava protes membuat kekehan kecil dari kedua orang tuanya menambah hangatnya pagi mereka.

Pagi ini setelah suaminya berangkat kerja, Sava langsung berkunjung kerumah orang tuanya. Tentunya setelah mengantonggi restu dari Arkan, dia tak mungkin keluar rumah tanpa se-izin suaminya.

Savanna hari ini bekerja pada jam sepuluh nanti. Dan untunglah, jam masih menunjukkan pukul delapan. Dia masih bisa bermalas-malasan dikamar lamanya. Dan suatu keuntungan lagi, karena kantor Sava tidak terlalu jauh dari rumah Ibunya.

Berarti dia bisa tidur sebentar kan?

"Ava, abis makan bantuin Ibu jemur pakaian ya." yah, gagal sudah rencananya untuk menyapa kasurnya.

Tak ada pilihan lain, Sava hanya menganguk pasrah dengan senyum yang di paksakan.

"Jangan ngak ikhlas gitu mukanya." lagi-lagi Ayahnya menggodanya. Sava mendelik sambil mencebikkan bibirnya.

"Jangan digituin ih bibirnya, ngeri Ayah liat." Yatuhan, kenapa dia harus mencintai dua laki-laki yang sering membuat darahnya langsung berada diubun-ubun sih?

Mereka suka sekali membuat Sava kesal. Untung Sava sayang.

********

Menjadi sekertaris di perusahaan besar bukanlah cita-cita Savanna tentunya. Dia dulu mempunyai cita-cita menjadi seorang guru kalau tidak  dia ingin menjadi desainer.

Hubby?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang