Part 3 - Kuil Para Dewa

2.3K 328 54
                                    

Yoona memarkirkan mobilnya. Mengambil bungkus mie yang tersusun rapi diatas dashboard mobilnya. Lalu ia memasuki rumah tanpa memberi salam. Seperti biasa, saat ia kesal maka seluruh anggota tubuhnya juga akan begitu. Perhatiannya teralihkan, sebenarnya ia ingin memasuki dapur. Tapi sayup-sayup ia mendengar teriakan nenek dari kamar atas. Umpatan yang selama ini belum pernah ia dengar nenek mengucapkannya. Ia putuskan untuk berlari menuju ke ruangan itu. Ruang dimana suara itu berasal.

"Aku sudah bilang padamu, jangan manjakan dia! Lihat dia sekarang, dia tidak perduli dengan umurnya yang hampir menginjak tiga puluh," nenek terlalu berlebihan.

"Ibu, biarkan saja dia. Dia sudah dewasa, dia berhak menentukan apa yang dia inginkan."

"Apa menunggu sampai aku mati?"

"Ibu. Berhentilah bersikap seperti itu."

"Bicaralah padanya!" nenek berjalan dan berbaring dikasurnya.

Akhir-akhir ini ibu selalu dibuat menangis karena topik bodoh satu itu. Ibu selalu disalahkan untuk semua yang terjadi padaku. Nenek melontarkan kekecewaannya begitu saja, tanpa mau tahu akan perasaan ibuku. Dia cukup keras kepala untuk itu. Sepertinya Yoona meniru persis sifat dirinya.

Dengan terhuyung-huyung, ibu keluar dari dalam sana. Yoona berlarian kelantai bawah. Untuk berpura-pura tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pura-pura bodoh. Agar hati ibunya tidak semakin terluka. Yoona membuka bungkus ramyeon dari kedai Eunjung yang sudah agak dingin. Mengambil sumpit dan seolah-olah menikmatinya. Mulutnya memang sedang mengunyah, tubuhnya duduk tegas di kursi meja makan, tapi matanya melirik ke arah ibu yang menyeka air matanya dan turun dari tempat 'pertempurannya' tadi. Meskipun selalu mengalah, tapi tetap saja ibu terluka. "Ibu aku mebelikan mie untukmu," sapa Yoona untuk mengalihkan suasana hati.

Ibu menghampiri dan membuka bungkusan ramyeon itu lalu memakannya. "Wah ini enak Sudah lama ibu tidak makan ramyon seperti ini," bisiknya.

"Iya, aku membelinya dari kedai milik ayah temanku." Mebicarakan apa saja yang bisa mencairkan suasana.

"Temanmu?" ini mengejutkan karena sudah lama Yoona tidak pernah mempunyai teman.

"Iya, dia gadis yang lucu. Aku senang mengobrol dengannya." Yoona memasukkan suapan terakhir kedalam mulutnya.

"Aku senang mendengarnya. Aku senang kau sudah mulai membuka hati untuk orang-orang disekitarmu," Yoona tahu arah bicara ibu.

"Iya ibu. Dan disaat yang tepat nanti. Aku juga pati akan mendapatkan kekasih, seperti mendapatkan Eunjung sekarang."

"Eunjung? Siapa itu Eunjung?" kepala Ibu mendongak.

"Gadis itu bernama Eunjung ibu."

"Ah," ibu mengangguk perlahan. "Jadi temanmu itu bernama Eunjung."

Tiba-tiba terlintas ide bodoh diotaknya. ['Bagaimana jika aku mengikuti saran Eunjung?']. Yoona menggelengkan kepalanya dengan kencang. Itu tidak mungikin. Pikirannya beradu dengan nuraninya. Beraninya hati ini mencemari prinsip yang sudah terbentuk selama setidaknya limabelas tahun terakhir ini. ['Tapi senyum ibu juga salah satu prinsip dalam hidupku.'] Yoona bergeleng lagi.

"Yoona kau baik-baik saja? Mengapa wajahmu cemas seperti itu?"

"Cemas?" ibu menyadarinya. "Ah tidak ibu. Aku baik-baik saja." ['Ini tidak masalah, harus ada satu prinsip yang mau mengalah demi prinsip yang lainnya.']

"Apa kau mendengar apa yang dikatakan nenek tadi?"

Yoona terdiam, lalu beberapa saat kemudian ia mengangguk.

"Apa kau marah?" wajahnya khawatir.

"Ibu, dari pada memikirkan perasaanku. Aku lebih memikirkan perasaan ibu," ia terdiam lagi. Mencoba merangkai kata untuk ibunya agar menjadi lebih tenang, "Aku hanya akan marah. Tapi tidak sakit hati ibu. Nenek adalah nenekku. Aku akan menerima semua yang dikatakannya."

The Temple of God, ErosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang