31/12/14

4.5K 438 122
                                        

Di bawah Langit

"Dua bulan yang lalu, emangnya kenapa?" tanyanya, seraya mengganti suara teleponnya menjadi loud speaker.

Ia mulai mengeluarkan satu persatu cetakan foto yang baru saja ia cetak hari ini. Sesekali ia berhenti untuk memperhatikan detil foto tersebut. Dan sesekali pula, ia kembali berhitung berapa banyak jumlah warna biru yang ia dapatkan dalam foto-foto tersebut.

"Ya nanya aja," terdengar helaan napas pendek dari ujung sana. "Lo nggak niat buat ngehubungin dia lagi?"

Keningnya seketika berkerut seolah mendapatkan pertanyaan yang sama dalam otaknya. Namun, kerutan tersebut pudar seketika, seraya ia mendapatkan perhatian baru.

Ujung bibirnya sedikit terangkat, hampir membentuk sebuah senyuman. "Gila, memar gue udah mulai hilang nih."

"Hah? Lo dengerin gue nggak sih, Go?"

Lelaki tersebut pun meletakkan cetakkan foto yang sedari tadi ia pandangi dan, beralih menatap layar ponselnya dengan sebuah nama yang tertera di atas sana.

Indi.

"Denger kok, denger." ujarnya sambil mengusap pelan wajahnya. "Gue cuma kaget liat cetakan foto aja tadi. Jadinya, kurang fokus."

Terdengar decakan sebelum perempuan bernama Indi tersebut bersuara kembali. "Bilang aja," jeda, "kalau lo nggak mau bahas lagi soal itu."

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, langit sudah menunjukkan warna jingga yang kian gelap perdetiknya. Menandakan pula, manusia semakin lelah setelah beraktivitas seharian ini. Termasuk Hugo.

Meskipun ia baru memulai harinya pukul dua belas siang tadi, namun percakapannya dengan Indi yang dimulai dari pukul tiga tadi, cukup membuatnya lelah.

Setelah satu menit berlalu, Hugo pun kembali bersuara. "Bukan nggak mau jawab, cuma–"

"Cuma apa?" tanya Indi dengan suaranya yang terdengar menantang. "Lo takut kalau nggak ada yang peduli lagi sama lo pada akhirnya?"

Keningnya kembali berkerut seraya mendengarkan lontaran pertanyaan dari Indi tersebut. "Lo ngomong apa sih? Abis makan apaan sih lo?"

"Go. Dia itu belum mati. Dia masih ada. Sama kayak lo, dia masih napas juga. Kenapa nggak lo coba buat hubungin dia lagi? Salah emangnya?" ujarnya panjang tanpa jeda sekali pun.

Hugo memejamkan matanya perlahan, kemudian menundukkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya di detik berikutnya, menatap hasil cetakkan foto berisi panutannya dalam menghitung hari sebelum hari di mana ia akan melihat gelapnya dunia di bawah tumpukkan tanah, hari di mana mungkin ia tidak lagi bernapas. Lebih tepatnya, ia tidak lagi hidup.

"Udah ya, Ndi. Gue mau tidur." Suaranya berubah dari sebelumnya. Terdengar seperti angin lalu, namun menampung beban yang cukup berat di balik ucapannya.

Terdengar helaan napas dari teleponnya. Menandakan, tidak hanya ia yang lelah di sini. Seseorang di ujung sana mungkin juga merasakannya. "Jangan lupa ambil hasil tes nya, Go."

Mendengar ucapan Indi pun, Hugo terdiam sesaat. Mungkin kalau saja Indi tidak mengatakan hal tersebut, ia tidak akan ingat kalau hari ini adalah hari di mana hasil tes terakhirnya keluar.

"Udah itu aja. Nanti gue telepon lo lagi, kalau gue ada waktu." Suara Indi kembali terdengar menggantikan hening beberapa saat di kamar Hugo. "Bye, Go."

Sebelum Hugo dapat membuka mulutnya untuk berbicara, layar ponselnya seketika mati menandakan hubungan telepon sudah terputus.

Indi memutuskan teleponnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[2] Hara | On-HoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang