Tentang Kita; Belajar Dari Kopi

570 31 7
                                    

Langit mendung dengan cepatnya. Awan hitam di atas sana bergerak menginvasi kubah kota Jakarta. Jalanan langsung sepi dibuatnya. Hampa terasa, sepi mendekap, begitupula dengan hembusan anginnya yang menusuk lambat-lambat, seakan tak rela jika hanya diam saja. Dan di sinilah dia, berusaha menyembuhkan luka, dengan cara melupa, tapi yang ia temui malah lagi-lagi luka. Luka lama lebih tepatnya.

Seorang laki-laki malang yang masih sayang bahkan pada sosok yang telah lama menghilang. Yang masih peduli bahkan pada sosok yang sudah lama berlari. Yang masih cinta bahkan pada sosok yang keberadaannya kini entah di mana. Yang masih menyimpan rasa bahkan pada sosok yang tak peduli bahwa ia pernah ada.

Ia sudah lama terluka. Namun, malangnya ia tidak bisa menyerah, seakan mencintai dia adalah kecanduan yang luar biasa kadarnya.

Tapi, ahhhhh. Kenapa ia kembali mengenang? Padahal tujuan awal ia ke sini adalah untuk melupakan.

Baiklah, ia harus bisa. Perlahan-lahan.

"Mbak, saya pesan satu cangkir espresso." teriaknya pada pelayan.

"Espresso? Yakin?" jawaban pelayan membuatnya terhentak untuk sementara. Lalu, ia tersenyum simpul.

"Yakin," dijawab pertanyaan itu dengan mantap.

"Di dunia yang pahit ini, kau malah memilih pengusir pahit dengan yang pahit pula, seleramu payah tuan," seperti sebuah sindiran. Tapi, memang ini sebuah kebenaran kan?

"Lalu? Apa yang harus aku pilih? Bukankah semua kopi itu pahit? Dan gula yang berperan untuk membuatnya menjadi manis?"

"Ah, kau benar. Bagaimana bisa aku lupa akan fakta itu. Tapi, bukankah akan terasa nikmat jika kau bisa menghabiskan waktumu dengan meminum yang manis untuk sejenak melupakan dunia yang pahit ini?"

"Jadi? Untuk apa aku memilih kopi? Jika aku hanya ingin manisnya saja? Aku bisa meminum air gula sebagai gantinya."

"Oh, baiklah."

"Lagipula, aku tak suka kebohongan." lanjutku.

"Kebohongan? Apa kopi ini berbohong?"

"Tentu, ia ingin tampak manis dengan mengorbankan gula agar ia disukai banyak orang. Padahal nyatanya, ada yang suka ia apa adanya."

"Ah iya, seperti tuan kan contohnya?"

Ia tersenyum. Selagi menunggu pelayan itu mengantarkan pesanan. Ia kembali teringat pada perempuannya. Kepadanya yang sudah mengantarkan dirinya pada lubang bernama luka.

"Untukmu yang sudah membuatku bahagia karena kebohongan, terima kasih. Tapi, maaf aku lebih suka kepahitan akan sebuah kejujuran."

-Rizal.

Ini OOT yah? :v
Sebenernya ini udah masuk cerita kan ya? XD gapapa lah kan diselipin di sini wkwk. Soalnyo ada beberapa kata yang bisa dijaiin quotes. Yah, menurut aku sih. Lol.

(Read : yang italic atau garis miring itu quotes, imho)

Just read and enjoy! Danke :)

Bagian LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang