Nanti Kamu Malu

21 4 2
                                    

Selepas jumatan Uron berniat membantu seorang tetangga yang akan melangsungkan walimatun nikah besok lusa. Dengan sarung dililitkan di leher pemuda itu berlenggang melewati orang-orang yang terkikik geli melihat celana cingkrang penuh tambalan yang dikenakan.

Dia tersenyum kepada setiap orang yang nyengir menahan tawa. Bukan tidak tahu jika mereka menertawakan. Tapi baginya ini anugerah, apalagi melihat Mbak Rini yang seminggu lalu berduka karena ditinggalkan sang ayah, Pak Ramon yang kemarin kemalingan dapat tertawa sebab melihat celana Uron yang penuh tambalan.

"Hei, lihatlah celana bertambal. Sudah berapa orang yang sudah kaubuat senang sepanjang jalan?"

Tibalah Uron di tempat tujuan. Mengucap salam, lalu berjalan menuju tempat paling sudut ketika melihat Kurdi temannya sedang mengobrol dengan Pak Gugun.

"Pak Gugun pasti tidak tahu, sebelum rumah Pak Ramon kemalingan. Dia itu menampar istrinya loh di halaman." Kurdi rupanya sedang bergosip, tidak menyadari ada orang yang datang di belakang.

"Sungguh? Ah aku tidak percaya. Pak Ramon itu kan orangnya lemah lembut," timbal Pak Gugun mengedipkan mata ke arah Uron sebagai balasan isyarat yang telah diterima.

"Aih! Justru yang tampak lemah lembut itu yang bahaya, Pak. Tampilan luar belum tentu sama baik dengan dalamnya." Kurdi bersikeras, "Tidak seperti aku ini, biar ngomong bablas, yang penting penuh kebe ...."

"Keberantakan." Uron menyela sambil menepuk bahu Kurdi hingga berjingkat, "apa faidahnya ngomongin kejelekan orang di belakang, Di? Kau ini."

"Eh, aku cuma lucu-lucuan saja. Tidak serius ini. Kau menggangu kesenangan orang saja, ah! Tak punya toleransi, kau."

"Lucu? Ah kentut kucing itu baru lucu. Lagian cuma ngingetin, kalau enggak diingetin sebab takut mengganggu keseruan kau 'ngegibah itu, padahal saya terlanjur mendengar. Saya takut nanti kebagian dosanya."

"Ah, kau ini datang-datang ceramah saja."

"Daripada kau itu. Sudah ah yuk kita bantu-bantu!"

"Bantu apaan? Kerjaannya berat-berat. Aku gak bisa bantu."

"Ya semampu kaulah. Yang enteng-enteng saja."

"Kalau yang enteng malu, yang berat enggak mampu. Mending aku diem saja, ah."

"Yo, wes." Uron beranjak ke dalam rumah diiringi cibiran Kurdi mencebik bibir.

"Eh, Pak Gun?" Kurdi berpaling ke arah samping, "La dalah! Kemana itu orang?" kaget ketika berniat meneruskan gosip yang terjeda tapi lawan bicara sudah tidak ada.

Akhirnya pemuda berbibir dower, tapi mempunyai wajah lumayan tidak sedap itu melamun sendiri. Terantuk-antuk kepalanya ke lutut, mengantuk dan tak lama kemudian tidur juga memeluk lutut.

Satu jam kemudian pekerjaan selesai, seperti biasa di kampung. Pribumi yang mempunyai hajatan menyiapkan makanan sebagai bentuk terimakasih kepada yang sudah ikut membantu. Seperti saat ini, rupa-rupa lauk terhidang di meja, buah-buahan juga sirup dingin pun ada.

"Mari, Ron kita makan."

"Pak Gun saja duluan, saya cuci tangan."

"Eh ... eh ..." tiba-tiba Kurdi datang, kiranya baru terbangun dengan iler masih menempel di dagu, "Makan ya? Kok enggak ngajak-ngajak. Hehe."

"Iya, tapi makanannya banyak, Di." Uron menjawab membuat Kurdi berseri, "Perut kau enggak bakal mampu menampung semua."

"Lah, kan makanya sedikit-sedikit, Ron."

"Kalu sedikit-sedikit nanti kamu malu, Di. Semuanya enggak bakal mampu. Mending diam saja." Sindir Uron meninggalkan Kurdi yang menelan ludah, tersindir dia.

Glek!

"Asyemmm ...!" Jengkel beranjak pulang.

Nanti Kamu MaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang