CHAPTER I : LUKA

264 12 0
                                    


"Lepaskan! Tolong Kira, jangan begini!" Mencoba berteriak sekuat tenaga, melawan bekapan telapak tangannya yang besar.

Suaraku tak terdengar. Kira makin liar, napasnya memburu, menggesek telingaku. Oh, Tuhan, dimana Kau?
Berat tubuhnya menindih. Tercekat. Napasku. Tersengal.

"Tidak perlu melawan, Noe." Sedikit terkikih. Berusaha keras melepas pengait celananya.

Teriakanku terasa sunyi, gudang tua ini seolah membungkus suaraku dalam temaram cahaya lampu. Kucakar bahunya, kugigit bahunya. Mencoba meraih apapun yang kutemui. Hampa.

Makin gelap saja mata ini, derai panas air mata hanya satu-satunya kawan seperjuangan. Tuhaaaaaaaaann!!!!! Kakiku menendang sembarang arah. Tak sadar. Aku ingin satu hal. Lari. Aku hanya ingin lari. Tuhan aku berdoa dalam kesempitan ini. Tolong aku. Toloooooong ....

S E N Y A P

***

Malam celaka. Sial. Masih teringat setiap..., akh. Mual.

Masih terasa kotor badan ini, berjuta kali aku mencoba membasuh, tapi aroma tubuh Kira seolah tak pernah enyah. Seperti selimut yang membakarku perlahan dari dalam. Aku tak lagi punya kuasa atas tubuh bahkan otakku. Mayat hidup. Aku ingin mati. Aku memanggil-Mu, Tuhan. Tapi Kau diam.
Tiada jawab.

Perkosaan itu mengikis sedikit demi sedikit diriku. Jiwaku. Bahkan mimpiku. Seolah ini belum cukup masih jua kau tempatkan aku dalam pernikahan ini. Tepuk tangan hebat untuk Kau, Tuhan. Hahahaha.

Pernikahan ini sudah berlangsung dua bulan lebih dari malam naas itu. Bukannya membantu aku untuk memenjarakan sialan Kira atau bahkan mungkin membunuhnya, justru orang tuaku memohon-mohon agar Kira mau menikahiku. Kurang rendah apalagi harga diriku ini. Masih lekat diingatanku bagaimana Mama mengancam membunuh dirinya jika aku melaporkan ke Polisi.

Malam itu aku pulang dengan langkah terseok, baju compang camping. Kalau bukan karena kebaikan seorang pria yang tidak aku kenal yang berkenan mengantarkanku pulang, entah apa jadinya. Di benakku hanya satu hal yang tertanam. Aku hanya ingin pulang.

Tapi, Mama, justru menampar aku keras ketika mendengar semua yang aku ceritakan. Sementara Bapak menyalahkanku karena bekerja terlalu malam. Mengenaskan.

"Ma, Pak! Aku ini diperkosa! Bukannya aku sukarela mengangkang betis agar dihujam penis!" Pembelaanku kala itu.

"Kamu yang memancing, Noe. Kamu lihat pakaianmu! Macam perempuan murahan! Kamu yang mengumpan dirimu!" Sahut Bapak menimpali.

"Persis Ibumu!" Mama memotong.
Rasanya aku sudah cukup terkejut untuk malam ini. Apalagi ini?

Terburailah semua 'isi perut' Bapak. Menceritakan kisah duapuluh tujuh tahun silam, ketika pintu rumah mereka diketuk oleh seorang wanita yang mereka kenal.

Menggendong bayi yang masih merah, terbungkus selimut berwarna kuning dan sedikit corak polkadot di bagian atas. Meminta agar bayi mungil itu dapat dirawat. Karena perempuan itu tidak sanggup menanggung aib dibalik kelahiran bayi tak berdosa itu. Bahwa ia karena kebodohannya telah merelakan kehormatannya untuk dipetik oleh pria yang ia cintai, namun sayangnya bukan sejenis pria yang bertanggung jawab.

Namun rumor tentang wanita itu sudah santer beredar di kampung kami. Perempuan itu, kononnya memang terkenal liar. Mabuk dan selalu menggoda laki-laki yang ia temui dimana saja. Konon lagi, jika syahwatnya memuncak, perempuan itu akan membuka kakinya bagi siapapun yang mau. Di balik ilalang, di gudang, akh dimanapun yang memungkinkan.

Awalnya, Bapak menolak untuk merawatku. Menolak memenuhi permintaan wanita yang mengetuk pintu rumah dalam gelapnya malam. Jika bukan karena mata Mama yang bertabrakan dengan mata bayi mungil itu, mungkin ceritanya akan berbeda.

ITSUMADEMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang