CHAPTER IV : BINTANG JATUH

115 5 0
                                    

Noe berjalan sendiri menyusuri salah satu swalayan di bilangan jalan Malioboro, tidak tampak Kira bersamanya. Perut yang bertambah besar membuat langkahnya menjadi pendek dan agak berat.

Swalayan hari itu tidak terlalu ramai, biasanya ketika weekend swalayan ini akan penuh sesak dengan mereka yang mencari kebutuhan rumah tangga ataupun sekedar berjalan-jalan dengan keluarga, berakhir dengan makan di foodcourt.

Noe tampak sibuk memilih barang belanjaannya dengan teliti, dibolak-baliknya sembari dibaca segala keterangan yang ada untuk membantu memilih produk yang cocok untuk dia dan Kira.

Tiba-tiba Noe dikejutkan dengan tepukan di bahu kirinya. Sedikit terperanjat, Noe memutar kepalanya. Betapa kagetnya ia ketika yang menepuk bahunya adalah Haikal. Matanya terbelalak, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Sendirian aja, Noe?" Haikal celingak celinguk mencari di sekitar Noe, mencoba menemukan siapa yang bersamanya.

"Haikal,,," Tidak mampu meneruskan perkataannya.

Pandangan Haikal tertuju pada perut Noe, memang agak menyembul sedikit dari balik kaos yang membungkusnya.

Haikal mengerutkan keningnya, berhati-hati bicara, "Haa-mil?"

Noe memandang perutnya kemudian balik menatap Haikal, membalas pertanyaan Haikal dengan senyuman. Kata-kata tidak berharga lagi saat ini, di benak Noe hanya sekelibat bayangan memori cerita dulu. Ia dan Haikal.

"Belum dijawab loh, Noe. Sendirian aja? Suami kamu mana? Nggak dikenalin sama aku nih?" Goda Haikal.

Lagi-lagi Noe hanya tersenyum. Senyum kecut.

Haikal sangat mengenal setiap perubahan mimik wajah Noe sejak dulu. Kali ini ia pun mengerti, seperti ada yang membuat wanita yang masih dicintainya hingga saat ini, merasa sedih. Tapi tidak mampu untuk menceritakan. Tidak mampu atau tidak mau, Haikal berusaha menebak-nebak.

Diraihnya pergelangan tangan Noe, diajaknya ke sebuah tempat istirahat di dalam areal swalayan tersebut. Sigap, ia langsung memesankan es jeruk dan mie pangsit ayam sambil berharap itu masih menjadi makanan kesukaan Noe.

Setelah memesan ia kembali menuju Noe, mengambil posisi di sebelah Noe. Haikal hanya berpikir jika memang Noe siap bercerita, minimal Noe tidak akan merasa malu karena harus berbicara ketika ada dia dihadapannya.

"Aku pesanin kamu seperti yang biasa. Masih suka?"

Noe mengangguk perlahan.

"Lama ya kita nggak ketemu, sudah berapa tahun ya Kal?" Akhirnya Noe berhasil memulihkan diri dari rasa kagetnya.

Haikal sedikit tenang karena Noe sudah mulai membuka mulutnya.

"Hmmm, berapa ya? Lima? Enam?" Haikal mengira-ngira.

"Lima. Lima tahun Kal. Setelah kelulusan kuliah. Kamu pindah ke Jakarta dan aku masih tetap di Jogja melanjutkan kuliah profesi."

Lama juga waktu yang membentang diantara mereka, dua bulan sebelum kelulusan Noe memutuskan hubungan dengan Haikal yang sudah dijalin hampir tiga tahun. Alasan Noe waktu itu karena dia tidak ingin LDR, meskipun bagi Haikal, Jakarta-Yogyakarta tidaklah terlalu jauh.

Haikal tidak jua menahan Noe yang ingin pergi darinya. Haikal tahu pasti, Noe berusaha mencintainya selama hubungan mereka terjalin. Meskipun selama itu pula, Haikal tahu bahwa di hati Noe hanya ada Kira. Walaupun Haikal sudah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk bisa membuat Noe berpaling arah.
Nihil.

"Lima tahun itu lama juga ya, Noe. Eh, kamu ini nikah kok nggak undang-undang aku. Nomorku masih yang sama. Nggak ganti."

Deg.

ITSUMADEMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang