CHAPTER II : KUSEBUT ITU KAMU

176 7 0
                                    

Penghujung September, 2009.

Hujan makin rapat menabuhi malam, sampai-sampai tidak terdengar suara apapun dari luar. Noe masih terpaku di depan laptopnya, masih ada tugas untuk mata kuliah peradilan semu. Menyiapkan duplik untuk disampaikan esok hari, karena memang giliran kelompoknya untuk melakukan peradilan semu. Memang hanya dua sks saja, tapi membuat duplik memang tidak mudah, juga memakan waktu yang cukup lama.

Terpekur sesaat memandang jendela. Pikiran Noe mengawang ke minggu kedua di bulan September. Haikal mengungkapkan cintanya melalui selembar surat berwarna merah muda.

{ Dear Noe,

Ini yang kesekian kalinya aku menulis surat untukmu. Serasa pengecut ya? tapi memang aku tidak punya keberanian untuk membicarakan langsung kepadamu. Rasanya tidak mampu jika mata kita harus saling beradu. Lidahku pasti akan menjadi kelu...

Dst....}

Noe ingat isi surat itu. Surat yang tidak sengaja didapatinya ketika Haikal mengembalikan buku wajib Pengantar Hukum Pidana yang dipinjamnya tempo hari. Didapatinya surat itu terjatuh dari sela-sela halaman buku tersebut.

Namun hingga September hampir pamit, belum juga Noe membalas surat itu. Malah ia semakin menghindari untuk berpapasan dengan Haikal, meskipun hanya sekedar bertemu tanpa sengaja di lorong kelas.

Bukan karena tidak mampu menemukan jawaban akan hal yang menjadi pertanyaan yang ditulis Haikal di surat itu. Tapi, karena hatinya telah tersangkut pada satu pria yang hanya dikenalnya sekilas saat malam keakraban bagi mahasiswa baru.

Noe ingat bagaimana tampannya pria itu dalam pandangan matanya. Sedikit urakan, tapi atraktif disaat yang sama.

Magnet bad boy? Entahlah.
Kira Alviano.

Begitu tertulis namanya di name tag yang tersangkut di jaket almamater biru miliknya. Mahasiswa semester empat, kakak tingkat Noe. Ada rasa cemburu menjalar dalam relung Noe ketika melihat teman-teman seangkatannya mampu bercanda bebas dengan Kira.

Kira pun terlihat sangat welcome menerima kehadiran mereka di sekelilingnya. Mereka sibuk bernyanyi tembang lawas dengan gitar yang dipetik Kira. Simfoni indah di malam yang dingin di Kali Kuning. Tidak perlu api unggun untuk meleburkan dinginnya malam. Hati Noe sudah cukup terbakar malam itu.

"Nggak ikut nyanyi, Noe?"

Noe mencari arah datangnya suara itu. Sedikit tertahan napasnya ketika didapatinya Kira sudah duduk di sebelahnya. Cahaya sedikit remang, karena tubuh Kira menutupi hampir semua bagian dari api unggun.

Rambutnya ikal sebahu, bergoyang-goyang disapa angin. Alisnya beraturan dan cukup tebal dengan rahang yang kokoh. Membingkai wajahnya sehingga tampak sangat keras air mukanya.

"Eh, nggak Kak. Suara Noe fals. Bisa-bisa bubar semua yang dengar. Tapi... Kok tahu nama Noe ya Kak?"

Tertawa," Itu kan tertulis besar di id card yang ngegantung di lehermu. Jangan ge-er akh." Senyum menggoda menyeringai.

Menahan malu namun tetap berusaha tenang, Noe menggarung-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Cantik-cantik kok kutuan, makanya mandi Non. Takut sama air ya? Kayak kucing aja." Sambung Kira sambil menyenggol lengan Noe.

Seketika ada rasa sejuk memenuhi Noe, mengalir deras melalui pembuluh darahnya. Senggolan itu persis seperti sengatan listrik.
Menyadarkan Noe bahwa pria di mimpinya duduk begitu dekat.

Berbagi oksigen yang sama dalam temaram cahaya bulan yang menggantung di langit. Kerlap-kerlip bintang seperti sedang menggoda Noe, karena mereka sungguh tahu rasa yang didekap erat oleh Noe.

ITSUMADEMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang