Luka

91 8 0
                                    

Singkat lagi. Di penghujung cerita.

A week later...

"APA!?"mataku terbuka lebar atau terbelalak. "Lo gak lagi bercanda kan?" Ku introgasi sesosok didepanku ini, Aldi, teman sekelas dia sekaligus temanku dan sahabat mantan pacarku. "Yakaleee gue ciper eohh." Aku menoyor kepalanya, "Gaya ngomong lo kayak banci simpang kabil!" Aldi terkekeh, "Sumpah serius." Kali ini Aldi benar-benar memasang wajah serius. Kulihat matanya, tak ada kebohongan disana. Entah mengapa tiba-tiba air mataku menetes lagi. Dadaku sesak mendesak didalam sana. Kepalaku sakit bak dipukul dengan palu. Bumi seakan berputar 360° dengan kecepatan penuh.

Lututku sudah mencium tanah. Mataku menatap bawah, kabur karena air mata sudah berebut tempat untuk dikeluarkan. Kini, hilang sudah semua semangat hidupku. Tak ada yang bisa kujadikan sandaran saat ini, selain Tuhan. Orang tuaku sudah bersama Tuhan di surga. Saudara-saudaraku tak ada yang menghiraukanku. Teman-temanku? Mereka tak tahu semua masalahku. Mereka hanya tahu kalau orang tuaku sedang bekerja diluar negeri. Dan sekarang? Apa yang bisa kuharapkan? Kupikir dengan kembali mengambil hati dia, dia bisa menemaniku, paling tidak dia bisa menghiburku dan sebagai teman curhatku. Ternyata, semua tak lagi sama. Semua telah hilang.

Dan tak lama setelah itu, pandanganku menggelap dan aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

***

"Kondisi teman anda sudah membaik. Dia hanya butuh istirahat saja. Hal ini terjadi akibat pasien depresi. Kalau saya boleh tahu, pasien sedang menghadapi masalah apa ya? Kalau saya perkirakan, masalah pasien ini cukup berat."

"Umm maaf dok. Kami tidak tahu. Memang dia tidak pernah bercerita soal keluarganya kepada kami. Tapi yang saya tahu, ia sedih karena orang yang dia sayangi sudah bersama yang lain dan menjauhinya."

"Ohhh. Baiklah. Saya permisi dulu."

"Baik dok."

"Gimana keadaannya?"

"Kata dokter dia cuma depresi. Dia udah baikan. Cuma butuh istirahat aja."

Aku terbangun dengan suara orang berbicara. Bau obat-obatan menganggu penciumanku. Kuyakin aku berada dirumah sakit. Tapi siapa yang sakit? Ugh ternyata aku yang sedang terbaring dirumah sakit ini.

"Pi. Udah sadar?" Aku menoleh, Ningrum memandangiku dengan wajah khawatir, begitu juga dengan Satria yang berdiri disamping Ningrum. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa sih?"ucap Satria gusar, aku menggeleng. "Udah sat. Jangan ditanya-tanya dulu. Lagian dia baru sadar juga."Ningrum menenangkan Satria.

Satria meninggalkan kamar perawatanku dengan gusar dan langkahnya cepat. Firasatku tidak enak. Jantungku berdebar kencang. Dadaku sesak tak karuan. Aku merasakan emosi yang dashyat dari Satria. Walau tak bisa kulihat wajahnya, tapi kubisa rasakan emosi seseorang. Dan aku yakin telinga Satria sudah memerah dan semua urat yang ada pada tangannya muncul dan menegang, tanda ia sangat marah.

"Firasatku tak enak. Mending kamu susul dia."Ningrum mengangguk, "Aku akan telepon Pamela buat nungguin kamu disini."aku mengangguk dan kutatap Ningrum yang terburu-buru mengemas barangnya dan mengotak-atik ponselnya.

***

"Yah. Seperti yang kamu perkirakan. Satria menghajar dia sampai terkapar. Kuduga ujung bibirnya terluka parah dan sobek. Soalnya tadi kulihat ada darah." Aku mengangguk lemah, kutatap Ningrum. Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu, dan ingin berbicara sesuatu kepadaku, tapi ia ragu untuk mengatakannya. Aku biarkan Ningrum dengan pikirannya, dan berpura-pura tidak memperhatikannya.

Pagi-pagi nih update hehe. Next chapter gue mau buat special scene untuk chapter ini. Stay tune.

-s.

The Scars [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang