BAB 7

172 16 0
                                    

"Tok..tok" aku mengintip dari tirai jendela, disana berdiri Jose dengan wajah khawatirnya. Aku memilih kembali duduk di kursi ruang tamu, sambil menyalakan perapian. Cuaca tidak dingin, condong ke hangat karena sekarang nyaris musim panas, tetapi mengapa aku merasa sangat kedinginan?

"Isadora?" Panggil Jose dengan ragu, seolah ia tidak yahkin aku ada di dalam rumah, duduk di sofa depan perapian, menatap ke arah perapian dengan tatapan kosong. Seolah jiwaku tercampur dan ikut terbakar dalam hangatnya bara api, "Kamu didalam? Kalau iya, tolong bukakan pintu. Aku dengar dari Bibi kalau kamu sakit,"

"Isadora! Tolong biarakan aku masuk!" entah sudah berapa menit Jose berdiri di depan pintuku, memohon agar aku membukakan pintu untuknya. Entah sudah berapa lama aku tenggelam diantara bantal-bantal dan sofa, tanpa bergerak se inchipun, seolah aku nampak seperti bagian dari sofa.

Aku mulai beranjak dari sofa saat tubuhku mulai kaku dan pegal, aku memilih merenggangkan tubuhku sambil berjalan pelan ke arah kamarku sampai aku mendapati kenyataan bahwa langit telah gelap, dan sumber penerangan satu-satunya adalah perapian di hadapanku. Aku menghelakan nafas berat, mematikan perapian kemudian berjalan ke arah kamarku. Aku butuh istirahat, istirahat yang sangat panjang...

***

Aaron,

Aaron menatap Dakota datar, gadis itu pasti telah berdandan mati-matian. Telah berpakaian yang bisa membuat ribuan mata pria segera menatapnya dan mungkin tidak bisa berhenti berkhayal. Tetapi kenapa Aaron tidak tertarik?

"Aaron, apa ada yang salah?" Aaron tetap berdiam diri, kemudian menghelakan nafasnya berat.

"Aku ingin minum sesuatu" gumam Aaron pelan. Dengan gesit Dakota mengambilkan beer dari tempat beer portable, kemudian menuangkannya pada gelas Aaron. Aaron menegaknya, terus menegaknya sampai habis. Bukannya ia tidak tahu apa yang Dakota inginkan dengan mengajaknya kemari, dengan busana nyaris terawangnya itu, atau dengan suasana romantis di belakang villa pada tengah malam begini. Ia sengaja pura-pura tidak tahu, ia ingin membuktikan bahwa kutukan dari Isadora tidaklah benar. Ia tidak ditakdirkan untuk bersama Putri Roh Bulan.

Usai acara, Dakota menggiring tubuh Aaron yang nyaris limbung ke arah kamar terdekat, baru sampai tengah jalan Dakota kewalahan. Sesekali gadis itu menggerutu sambil meniup kesal poninya, sampai Dakota teringat ponselnya tertinggal di luar, gadis itu meninggalkan Aaron di meja makan, sementara kini pikiran Aaron sangat kacau balau. Ia tidak bisa membedakan mana yang ilusi dan mana yang kenyataan, saat ini pikirannya justru dipenuhi oleh Isadora. Ia berjalan dengan asal, memasuki kamar yang ada dengan acak, mungkin membiarkan Dakota mempin jalannya acara bukanlah pilihan yang tepat. Aaron ingin tidur sendirian, sehingga ia mengunci pintu dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

***

Aku merasakan sesuatu yang hangat menerpa wajahku. Aku membuka mataku dan kontan melotot saat melihat Aaron tengah terlelap, bau alkohol menyeruak dari nafasnya. Menyadari bahwa saat ini aku tengah terbangun bukannya tertidur. Buru-buru aku duduk di atas tempat tidurku dan menendang-nendang Aaron agar terjatuh dari ranjang tidurku.

Ia duduk terjatuh di lantai, tidak lama kemudian ia bangkit duduk di tepi tempat tidur menatap perapian yang sudah kunyalakan sedari tadi.

"Kanapa menyalakan perapian padahal saat ini udara sudah hangat," bisiknya pelan. Pakaianya atasnya sudah terlepas semua, sehingga menunjukkan otot-otot tubuhnya yang indah. Aku menatapnya sendu, apa aku bermimpi? Kenapa nada suara Aaron sangat lembut. Beda sekali dengan tadi siang.

"Aku merasa kedinginan," bisikku pelan, aku merangkak ke tepian, memilih duduk di sisinya. Membiarkan hangatnya perapian mengisi relungku. Kira-kira, hangatnya karena perapian atau karena sifat Aaron yang berbeda 180 derajat?

"Kalau begitu dekatlah dengaku, aku tidak akan membiarkanmu kedinginan," Aaron merenkuh tubuhku, aku nyaris menjerit sampai aku menyadari sesuatu yang lembut dan basah menyentuh bibirku. Aaron telah menciumku. Aku mendorongnya keras-keras membuat Aaron tertawa terbahak-bahak, ada kegetiran di wajahnya.

"Aku membenci penyihir," gumam Aaron kemudian membuatku membisu. Apa dia tidak tahu jika aku juga seorang penyihir? Sampai dengan seenaknya saja dia dapat berkata seperti itu? "saat aku kecil, Ayahku yang merupakan seorang raja Northern (daerah yang sangat makmur di dekat Sweden, daerah pusat berdagangan) sangat tamak dan sombong. Sampai ia bertemu dengan seorang penyihir yang kejam, penyihir itu meminta tempat untuk berteduh tetapi Ayah menolaknya." Aaron mulai bercerita, aku mendengarkan baik-baik tiap tutur katanya, "Saat itu aku yang menonton dari kejauhan dikutuk oleh Penyihir itu. Ia berkata, bahwa aku akan terus mengalami luka bakar sampai aku mencium penyihir terang, putri roh bulan,"

Mata hitam legamnya menatapku dengan lembut, melumat habis diriku, membuatku terhanyut lebih dalam dan dalam lagi. Seolah aku tenggelam dalam lautan yang sangat pekat, tapi herannya aku merasa tidak takut, pasti karena lautan itu ada di dalam mata Aaron, "Dari dulu, aku terus mencarimu, berharap aku menemukanku dan membebaskanku dari kutukan itu," Aaron menarik tangan kananku membiarkan jemariku menyentuh kulit dadanya yang tidak rata karena bekas luka bakar. Seperti bekas codet, hanya saja warnanya tetap sama dengan warna kulit Aaron, "Bekas luka ini ada sangat banyak, nyaris di sekujur tubuh. Jadi, terimakasih isadora, karena kamu membebaskanku dari kutukan itu," Aaron tersenyum sangat ramah, membuat jantungku berdetak sangat cepat. Tubuhku seolah dihipnotis oleh satu katanya, seolah dilahap habis dalam pesonanya. Kenapa? Kenapa dia terlihat begitu indah saat ini? Bagaimana bisa aku masih membencinya?

"Menurutmu, apa kamu menyesal telah ditakdirkan denganku?" tanyaku sambil menatap matanya lekat, menguncinya tepat di manik mataku. Aaron tertawa getir.

"Aku membenci penyihir karena ia mengutukku," hening sejenak "tetapi entah mengapa aku tidak bisa berhenti mempikirkanmu Isador, aku selalu bermimpi dan mimpiku selalu tentangmu. Di saat seperti itu semua bebanku rasanya hilang. Apa karena kutukan itu? Kalau iya, aku akan sangat berterimakasih." Aaron tersenyum sangat lembut, kemudian menarik tangaku yang masih menempel di dadakirinya, membuat tubuhku jatuh di dalam pelukannya yang hangat.

"Apa kamu yang membebaskanku dari Kleiren? dan memberikanku buket bunga princess Alexandria of Kent juga?" bisikku pelan di telinganya, Aaron tertawa lembut, nafasnya menerpa kulit leherku.

"Iya," bisik Aaron pelan. Mengakui semua perbuatan manisnya.

"Bagaimana cara aku berterimakasih padamu?" Aaron melepas pelukannya, kemudian menatap mataku lekat, sebelum ia mencium bibirku dan membuatku kewalahan malam ini. Sejak awal, tubuh kami telah ditakdirkan untuk saling bertemu.

The WitchWhere stories live. Discover now