BAB 8

162 16 0
                                    

"Pagi Aaron," bisikku pelan di telinganya, Aaron membuka matanya lambat-lambat kemudian ia menguap pelan. Aku tersenyum lembut dan mengecup pipinya, "Mau makan apa?" tanyaku pelan.

"Em, omelet?" tanya Aaron ragu sambil menatapku lekat-lekat. Wajahnya terlihat seolah terkejut mendapatiku duduk di hadapannya dengan daster berenda.

"Okay," jawabku kemudian.

"Isador?" Aaron memanggilku ragu. Aku menatapnya keheranan.

"Iya?" Aaron menelan ludahnya terlihat kebingungan sampai seseorang mengetuk pintu kamarku dan berseru sangat lembut.

"Pagi Aaron, air hangatnya sudah aku siapkan, jangan seperti anak kecil dan mengunci dirimu terus," aku mengerjapkan mataku linglung saat mendengar suara wanita yang mendesah-desah menggoda.

"IYA!" Aaron berseru menimpali perkataan wanita itu membuatku menatapnya bingung.

"Hah?" aku bergumam meminta penjelasan, sampai aku melihat Aaron buru-buru menggunakan pakaiannya dan menggeserku dengan pelan dari pintu.

"Aku harus pergi," bisik Aaron,

"Pergi?" tanyaku terkejut. Aku menghadang tangannya yang hendak membuka kenop pintu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku tidak mengerti. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, bagaimana bisa semalam tiba-tiba saja Aaron tidur di tempat tidurku? Bagaimana bisa dia berada di rumah ini?

"Aku... ini tidak ada urusannya denganmu, harusnya hal ini tidak pernah terjadi," bisik Aaron dingin membuat mataku terbelalak.

"Apa?" desisku tidak percaya. Ada kilatan kecewa dari mataku dan Aaron tahu itu. Tetapi ia memilih untuk tidak peduli dengan memalingkan tatapannya dari tatapanku dan tetap membuka pintu, menampakkan Dakota yang berdiri menggoda di depan pintu dengan lingerine seksi berwarna merah maroon. Aku menatap Dakota terkejut, Dakota menatapku dengan tatapan tidak percaya sedangkan Aaron berjalan ke arah Dakota, menyeret gadis itu ke ruang tamu, tetapi Dakota mengelak. Ia menatapku dan Aaron secara bergantian seolah meminta penjelasan.

"Maafkan aku," hanya itu yang muncul dari bibir Aaron. Dakota menatap ke arah Aaron dengan berlinangan air mata seolah ia begitu kecewa,

"Aku, aku akan melupakan peristiwa ini, dan darah itu," seru Dakota sambil menunjuk sprei tempat tidurku, "asal kamu berjanji satuhal padaku Aaron, jangan pernah temui Isadora lagi," aku terbelalak saat mendengar semua penuturannya. Dakota menatapku sarat penuh kebencian, sementara aku menatap Aaron dengan tatapan penuh luka. Aaron tidak akan berkata ya, dia tidak bisa, karena aku dan dia di takdirkan untuk saling bertemu, dan akan terus-menerus bertemu secara kebetulan.

"Iya," Aaron menjawab tantangan Dakota dengan tegas, tepat saat itu aku merasa seolah ada yang menikam jantungku kuat-kuat. Aku menatap Aaron tidak percaya sementara dia sudah berjalan melewatiku, meninggalkanku di rumah besar ini sendirian, dengan luka di balik dadaku yang tidak ketara. Aku menangis, apa yang kupikirkan kemarin? Apa?! Kenapa dengan bodohnya aku bisa terbuai dengan kemanisan dan kelembutan Aaron?

"Hahaha! Bodoh! Sampai kapanpun kamu hanya akan bermimpi buruk Aaron, kamu akan terus menemukanku dengan rasa bersalah tertancap erat di hatimu, sebab ada takdir di antara kita yang tidak bisa di ingkari," aku menghibur diriku sendiri seperti orang tolol. Apa yang baru saja kukatakan? Kenapa bisa-bisanya aku merasa bahagia disaat aku harusnya menangis bersedih? Buat apa aku dan Aaron terus bertemu dengan luka besar di balik dadaku sementara ia tengah menjalani hidup bahagianya dengan Dakota. Sampai aku tersadar, walau bahagia setidaknya hidup Aaron tidak akan pernah tenang lagi.

***

Kira-kira tiga bulan lamanya setelah aku memohon kepada Bibi Jose untuk memindahkanku bekerja di ladang, di suatu desa yang sangat jauhhh sekali dari pusat kota Sweden dimana aku dulu tinggal. Sudah nyaris tiga bulan lamanya juga setelah terakhir kali aku mendengar teriakan Jose di depan pintu rumahku (maksudku villa Anthony) sebab selama tiga bulan ini aku tinggal di villa Bibi Jose, dan yang terakhir sudah hampir tiga bulan aku masih terluka karena perbuatan Aaron, dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Baguslah! Apa yang kuharapkan? Lebih baik begini untukku dan Aaron. Aku akan membesarkan anakku di ladang bunga kelak.

Mengajari cara berekebun padanya, menunggang kuda, dan hal-hal yang sering aku lakukan disini untuk menghibur diriku sendiri, dan terakhir jika dia adalah laki-laki, akan aku ajarkan padanya bagaimana menjadi pria sungguhan. Bukan sebagai pecundang seperti ayahnya.

"ISADOR!" aku tersentak saat seseorang menarik paksa tanganku. Mata cokelat almondnya dan mataku saling beradu. Tubuhku bergetar, bagaimana bisa dia menemukanku di tempat ini? Bibi Jose sudah berjanji tidak akan memberitahu Jose kemana aku pindah.

"Katakan dengan siapa! DENGAN SIAPA!!" teriak Jose lepas kendali membuat air mata kembali berjatuhan dari mataku. Aku melukainya, mengecewakanya, dan aku memang pantas di marahinya, di bencinya. Aku seperti sudah kehilangan muka di hadapannya.

Aku menggeleng membisu, aku tidak bisa berkata-kata lagi, aku bingung memulainya dari mana, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanya tanpa terdengar aneh dan bodoh? Bagaimana bisa?!

"Aku takut," hanya itu yang mampu keluar dari bibirku yang terus mengisak. Cengkraman tangannya di pergelangan tanganku mengurai. Jose memelukku erat, kehangatannya justru mencabik-cabik perasaanku. Bagaimana dia bisa selembut ini? Harusnya dia membenciku saja.

"Tenang Isador, kamu tidak sendirian, aku disini untukmu," bisik Jose lembut membuatku tidak mampu berkata-kata lagi. Bagaimana bisa dengan tidak tahu malunya aku berhari-hari menghilang dari hadapannya kemudian setelah hal-hal buruk terjadi padaku tanpa sepengetahuannya aku malah menggantungkan segalanya-yang harusnya kutanggung sendiri-kepadanya? Memang apa dosa Jose sampai harus ikut menanggung dosaku?

"Terimakasih Jose, tetapi aku baik-baik saja," bisikku pelan. Jose menghelakan nafasnya dengan frustasi.

"Kenapa kamu menjauhiku? Memangnya apa salahku?!" tanya Jose frustasi.

"Bukan Jose," aku tersenyum masam, "Kamu tidak salah, aku yang salah, aku sudah tidak layak lagi berada di sampingmu," bisikku lembut. Jose menatapku terluka.

"Aku tidak peduli,"

"Tapi Sweden, dan aku peduli, okay?" aku tertawa kecil.

"Aku bisa saja berpura-pura bahwa aku yang menghamilimu," aku menggeleng lembut. Bagaimana bisa? Bagaimana jika nanti anakku tidak mirip denganku atau Jose? Apa akan terulang lagi peristiwa di Eiden? Peristiwa aku di buang dan sampai akhir kematianku nanti tidak akan pernah ada yang menganggapku sebagai seorang putri?

"Tidak, aku baik-baik saja. sungguh. Terimakasih," bisikku pelan, kemudian memeluk Jose erat. "Terimakasih karena kamu masih peduli padaku Jose,"

Ya, begini lebih baik bagiku, Jose bisa menjadi paman yang baik untuk anakku, aku tidak perlu sendirian lagi. Jika ada suatu masa dimana Aaron kembali dan meminta maaf padaku, mungkin aku tidak akan memaafkannya lagi, mungkin aku tidak akan menerima lamarannya jika ia melamarku, karena seharusnya, aku membencinya.

The WitchWhere stories live. Discover now