Sejak pukul tujuh pagi, Senja sudah siap seperti anak kecil yang tidak sabar menagih janji liburan orang tuanya. Sembari menghabiskan sandwich ala-nya menggunakan Bagouette—roti khas Perancis—dan segelas susu cokelat hangat yang menemani dengan setia seperti pagi-pagi sebelumnya, Adelaine terus menggonta-ganti channel televisinya mencari acara kartun dan sempat melirik sebentar perkiraan cuaca hari itu.
"Hmm... voir? ont deviné—see? Sudah kuduga."
Sontak Adelaine menoleh ke sumber suara dan senyum lebar langsung menghiasi wajahnya. "Kyaa!! Tumben kalian datang pagi sekali!!" Sembari memeluk Cee, bola matanya menangkap kantung-kantung belanjaan yang ditenteng Louis. "Wah, rupanya kalian sudah belanja! Tumben sekali kalian berdua jadi rajin begini." Ucapnya sambil meraih kantung-kantung tersebut, namun malah dialihkan oleh Louis sendiri.
"Mana morning hug untukku, jeune fille—gadis kecil?" Tangan kanan Louis yang bebas, memberi kode untuk minta dipeluk. Adelaine hanya mencibir pelan yang disusul dengan pelukan untuk sahabatnya tersebut.
"Nah, sudah, kan? Sekarang ayo kita dapur!!" dengan menggebu-gebu, kedua tangan Adelaine menarik sebelah tangan Louis dan Cee di sisi kanan-kirinya. Kedua sahabatnya tersebut hanya mengikuti sambil tertawa menanggapi.
"Yey!! Lihat, buatanku menggiurkan sekali, bukan?" Adelaine mengangkat tinggi-tinggi piring yang sudah diisi Calzone buatannya.
"Hm, tapi tidak dengan wajahmu jeune fille." Ucap Louis sembari berjalan ke arahnya dan membersihkan wajahnya yang belepotan tepung dan saus dengan tisu. Adelaine hanya menyengir kuda dan memejamkan matanya menunggu Louis membersihkan wajahnya tersebut.
"Kalian berdua persis seperti ayah-anak hahaha." Kata Cee yang sedang mencuci peralatan masak kotor tadi. "Setelah itu tolong siapkan semua yang ingin dibawa ya. Aku masih ingin membersihkan dapur yang super kotor ini berkat kerja keras si gadis kecilmu Louis." Sindir Cee dengan suara pura-pura dingin. Yang disindir langsung memeluk Cee sembari menunjukan puppy eyesnya.
Mereka terlihat sangat bahagia. Rien ne changera jamais cela—Nothing will ever change that.
Ya, nothing....
**
Sore itu, matahari hampir terbenam di ufuk barat, merefleksikan kilau keemasan dalam genangan merah oranye yang sepertinya tenggelam ke permukaan sungai. Sungai Seine yang sudah mulai sepi—hanya ada sekelompok remaja yang masih duduk bersisian atau melingkar saling bertukar cerita. Beberapa keluarga yang puas menikmati akhir pekan mereka mulai berberes dan mengumpulkan barang-barang bawaan mereka.
Adelaine, Cee, maupun Louis berjalan menyusuri jembatan dan pinggir sungai. Angin sore membuat rambut mereka tertiup bebas dan berantakan; helaian rambut melekat di tengkuk mereka yang basah karena keringat. Hanya Louis yang bersikap tidak peduli. Rambutnya yang tebal berantakan, namun justru terlihat keren.
Adelaine merentangkan kedua tangannya lebar-lebar di udara, menghirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya."Kuharap setiap hari bisa seperti ini terus—
chaleureux et agréable—hangat dan menyenangkan. Apalagi bersama kalian." Katanya kemudian menoleh ke kanan-kirinya dan tersenyum lebar."J'ai aussi—aku juga." Jawab Louis dan Cee bersamaan. Louis berjalan mundur untuk merekam momen ini menggunakan camcorder.
"Truth or dare, Adelaine?" tanya Louis tiba-tiba setelah memutari kedua sahabatnya untuk merekam momen tersebut dari segala sudut.
Adelaine menurunkan kedua tangannya dan membuat ekspresi-ekspresi berpikir keras. "Hmm, mungkin kali ini aku memilih truth."
"Apa pendapatmu mengenai Clarence?"
Pertanyaan untukku rupanya Cee yang ajukan.
Adelaine mengambil beberapa langkah lambat menyusuri sisi jembatan, mengambil sedikit jeda untuk menganalisis pertanyaan tersebut. "Bagaimana apanya?" Adelaine balik bertanya, masih belum yakin apa maksud pertanyaan tersebut. Seperti yang terlihat dengan jelas, anak laki-laki itu sangat dingin, cenderung tidak peduli sekitar, dan tentunya tampan—lalu apa yang ingin mereka tahu?
"Bagaimana ya? Kami melihat, kamu memandangnya berbeda. Makanya kami bertanya." Oh, rupanya Louis juga penasaran dengan itu.
"Dia tentu saja sangat tampan. Di antara anak laki-laki di sekolah kita, dia yang paling tampan." Adelaine memberi jeda saat mendengar deheman Louis. "Dan seperti yang kalian lihat, dia sangat dingin dan menyebalkan karena sifat individualisnya." Lanjut Adelaine sembari menerawang ke arah genangan air di sungai yang begitu tenang—memutar beberapa kejadian yang telah lewat antara dirinya dan Clarence. "Namun, menurutku dia menyenangkan dan... berbeda. Saat aku akan merasa menyerah menghadapinya, kedua bola matanya akan langsung menatapku—menatapku sangat lekat hingga aku terperangkap di dalamnya dan tidak bisa kabur darinya. Saat itu pulalah..."—aku merasa bertemu dengan Edith. "Aku bertekad untuk mencari tahu tentang dirinya."
"Yeah." Untuk sesaat ekspresi wajah Louis berubah murung, begitu pula dengan Cee yang memasang ekspresi seakan terkejut, namun cepat berubah menjadi lembut—atau senang?
"Tourner!—Giliranmu!" seru Adelaine memecah keheningan menunjuk Cee. "Truth or dare?"
Cee tertawa lembut—sangat anggun. "Kamu tahu aku selalu memilih truth."
"Bagaimana Louis menurutmu?"
"Eh?" Adelaine berpikir apa hanya perasaannya bahwa setelah pertanyaan itu, ekspresi kedua sahabatnya memucat. Namun Louis berinisiatif menutup wajahnya dengan camcorder, dan dalam sekejap ekspresi Cee kembali normal. "Kenapa dia? Bukannya kita sudah saling mengetahui satu sama lain luar-dalam?"
"Justru karena itu! Setalah dipikir-pikir, kita belum pernah mengetahui pendapat masing-masing tentang diri kita. Hahahaha."
Cee sempat melirik Louis sekilas di balik camcordernya, kemudian mengikuti Adelaine membuangan pandangannya ke arah sungai. "Dia sangat ramah." Akhirnya, ia menjawab. "Orang yang baik, menyenangkan, penyayang, tapi sayangnya...." Cee menjeda kalimatnya setelah tersadar sesuatu. Lama tidak melanjutkan, Adelaine melempar tatapan 'kenapa?' "Ee.. sayangnya terlalu lembut—seperti seorang gadis. Hahaha." Adelaine tertawa lepas setelahnya dan menggoda Louis—menusuk-nusuk pipi kirinya dengan jarinya. Cee dan Louis sendiri hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Baiklah, tantangan terakhir untukmu, Louis." Adelaine berdehem setelahnya, seolah hendak menyampaikan pidato penting sepanjang masa. "Cee, silakan ajukan pertanyaanmu." Kemudian, Adelaine mengambil alih camcorder dari tangan Louis.
"Bagaimana Adelaine menurutmu?"
Terlihat cengiran lebar Louis sambil menggaruk tengkuknya. "Sangat lembut, periang, manja namun juga sangat mandiri dalam satu waktu, tidak bisa marah lebih dari tiga jam, sangat penyayang..." Louis terus menatap sebelah mata Adelaine yang tidak tertutup camcorder, sedangkan Adelaine sendiri wajahnya sudah sangat merah. "sayangnya, tidak ada anggun-anggunnya menjadi perempuan." Setelah itu, Louis mulai berlari meninggalkan kedua sahabatmya di belakang.
"Hey!" Adelaine buru-buru mematikan camcorder, mengejar Louis yang tentu saja lebih tangkas dari dirinya dan Cee. Mereka berkejaran tanpa lelah, percakapan barusan terlupakan begitu saja dan tak satu pun dari mereka yang mengungkitnya lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/74770554-288-k562832.jpg)
YOU ARE READING
Letter From Nowhere
Romance----------------- give me any comments (suggest and critic) also votes! sebagai upaya untuk perbaikan cerita yang lebih baik lagi dan juga bentuk apresiasi kalian terhadap karya-karya saya^o^