Pagi-pagi sekali, Adelaine sudah menyusuri jalan koridor sekolahnya. Langkahnya ringan seperti biasa. Sembari bersenandung kecil menyapa murid-murid maupun pegawai sekolah yang dilewatinya.
Sedikit nakal memang, setelah kedua sahabatnya pulang kemarin siang, Ia meminum dosis obat sedikit melebihi dosis sebenarnya. Biar cepat sembuh. Batinnya. Kemudian istirahat penuh hingga paginya.
"Tadaaa!" sapaan Adelaine yang berupa teriakan menggema ke seisi ruang kelasnya. Dirinya masih mematut diri di pintu kelas sembari menelaah ke seisi ruangan tersebut—mencari wajah asing yang ditunggu-tunggunya.
Nah, itu dia! Wah, persis seperti wajah pangeran-pangeran di film barat! Batin Adelaine tersenyum-senyum sumringah.
"Adelaine? vous avez récupéré?"—Adelaine? Kamu sudah sembuh?—pertanyaan dari sahabatnya bahkan tak dihiraukannya. Ia hanya berjalan melewati meja mereka dan... mejanya. Karena anak laki-laki itu duduk tepat di sisi kanan bangkunya.
"Bonjour! Je m'apelle Adelaine!"—halo! Namaku Adelaine—ucap gadis berkuncir kuda itu dengan semangat sambil mengulurkan tangannya.
Entah sejak kapan, suasana kelas menjadi senyap, begitu juga dengan anak laki-laki yang diajak bicara oleh Adelaine. Tidak ada balasan berupa 'halo' balik maupun uluran tangan, bahkan menoleh pun tidak. Mungkin Ia tidak dengar. Pikir Adelaine.
"Kamu bisa panggil aku Adel. Aku dari Indonesia, pindah ke Paris sejak Maternelle—Taman kanak-kanak—Aku juga belajar di kelas ini dan... oh, iya! Aku duduk di..."
"Vous voyez ce que je fais , non?"—Kau lihat aku sedang apa, kan?—suara itu! Ah, jauh dari bayangan Adelaine sejak kemarin. Suaranya saja jauh lebih dari keren! Batin Adelaine terus mengembangkan senyumnya.
"Hm, je vous!—Aku lihat—Kamu sedang membaca, kan? Tapi, bukankah tidak ada salahnya kamu membalas sapaanku? Tidak sampai 5 menit, kok. Kemarin aku..."
"Mal—Itu salah—jika kau melakukannya kepadaku, Asian." Jawabnya sinis sembari memberi tatapan mautnya tepat ke tengah bola mata besar Adelaine, kemudian memundurkan bangkunya dengan kasar, dan melangkah pergi.
Adelaine masih menatap punggung itu dengan setia. Sejak awal Adelaine sudah tahu akan seperti ini jadinya, namun Ia tidak akan lengah, bahkan senyum lebarnya tak lepas sejak mendengar suara bariton tersebut. Dia seperti itu, kan, kepada semua orang, bukan hanya kepadaku, jadi aku harus memakluminya—Selalu seperti itu—Adelaine dengan pikiran-pikiran positifnya.
Tepat di belakangnya, kedua sahabatnya saling pandang—saling berbicara lewat tatapan mata yang tak ada satupun selain mereka mengetahuinya. Hanya raut kecemasan yang terpampang jelas.
Bunyi bel tanda untuk pulang sudah berbunyi. Kalimat-kalimat terakhir dari sang guru bahkan tak ada satupun yang menanggapi, bahkan didengar pun tidak. bagi murid normal, bunyi bel bubar kelas jauh lebih indah, sekalipun gelombangnya memekakkan telinga.
Begitu pula dengan Adelaine, menit-menit terakhir sebelum bel, Ia sibuk merangkai kata di sticky-notesnya, dan saat si dia sedang lengah, dengan gerakan gesit Adelaine menempelkannya tepat di atas meja sisi kanannya
Merasa tak ada gerak-gerik yang menunjukan bahwa si penerima membacanya, Adelaine menusuk-nusukan ujung pulpennya ke lengan anak laki-laki itu.
"Psstt...." Adelaine terus melancarkan aksinya, tidak peduli dengan anak laki-laki itu yang sedang sibuk membereskan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas.
"Ps...."
"Are you crazy or something? Kita tidak cukup akrab untuk mengganggu satu sama lain, ok?" suara bariton dengan nada tajam serta killer sight itu tak mampu membuat Adelaine goyah.
Cengiran lebar kembali terpampang di wajah putih bersih Adelaine. "Kalau begitu, ayo, kita menjadi akrab!" ajak gadis itu dengan semangat.
"In your dream, garçon pleurnichard!"—Dalam mimpimu, bocah cengeng—jawab anak laki-laki yang sudah Adelaine ketahui namanya sejak salah seorang guru memanggilnya—Clarence. Ia melangkah pergi, setelah meninggalkan umpatan kecil yang tak dihiraukan Adelaine sendiri, bahkan Ia hendak mengejar jika saja lengannya tidak ditahan Louis.
Tatapan bingung dilemparkan Adel kepadanya, "kau tidak seharusnya berusaha sekeras itu. Kau hanya akan terluka jika terus menerus seperti itu." Ucap Louis lemah, namun kedua tangannya meremas lengan Adelaine seakan memberi isyarat bahwa ucapannya adalah peringatan yang wajib dipatuhi.
Kedua tangan kecil Adelaine balas menggenggam lengan berotot Louis sembari tersenyum kepada kedua sahabatnya secara bergantian. "Memang sifatnya yang seperti itu, kita harus memakluminya. Lagipula dia anak yang baik. Aku ingin berteman dengannya!" Lagi—senyuman dan tatapan optimis Adelaine seakan membekukan kedua sahabatnya. Mereka memang tidak bisa berdebat dengan gadis kecil mereka ini. pikiran positif dan optimisnya yang dipancarkan melalui ucapan, tingkah, dan tatapannya seakan selalu meyakinkan dan menyalurkan si lawan bicara; membuat mereka kadang merasa menjadi orang yang jahat.
Rupanya tidak hanya mereka yang saling mendengarkan celotehan masing-masing, di balik pintu masuk, seseorang yang tadinya hendak kembali masuk kelas terpaksa menghentikan langkahnya karena tidak enak mengganggu perbincangan orang lain. Namun sayang, dirinya tetap mendengar celotehan polos dari bibir gadis kecil yang terus mengganggu hingga membuatnya tidak mampu berkonsentasi seharian penuh ini.
Tidak ingin terjerumus dalam urusan orang lain, membuatnya langsung kembali melangkah menjauhi ruangan kelas itu, dengan helaan nafas berat—menggagalkan rencananya untuk mengambil secarik sticky-notes yang tidak sempat dibacanya karena merasa gugup terus diperhatikan oleh si pengirim—stupide, gadis cengeng itu, untuk apa kau merasa peduli kepadanya? Rutuknya dalam hati.
----------------------------------------------------
Chapter selanjutnya akan dipost secepatnya!!
Leave any comments and votes, dude^^
YOU ARE READING
Letter From Nowhere
Romance----------------- give me any comments (suggest and critic) also votes! sebagai upaya untuk perbaikan cerita yang lebih baik lagi dan juga bentuk apresiasi kalian terhadap karya-karya saya^o^