ini tiga

965 53 0
                                    

Iqbaal dan (namakamu), apa yang mereka berdua lakukan?
Iqbaal yang berada di belakang (namakamu) itu....sshh, kedua tangannya melingkari pinggang (namakamu), jari-jarinya kaku berada di perut (namakamu)—dia sedang menggelitiki (namakamu)—dan tangan (namakamu) mencengkram kuat tangan kanan Iqbaal. Wajah mereka berdua memandangnya dengan sikap bertanya-tanya.
Sadar kalau fokus mata Aldi tak mengarah pada mata mereka berdua. (Namakamu) maupun Iqbaal mengikuti kemana mata Aldi tertuju.
Dan..
Secepat kilat keduanya segera berjauhan, Iqbaal maupun (namakamu) menjadi salah tingkah. Sebenarnya apa yang terjadi itu diluar nalar keduanya, mereka kan tadinya hanya bermain dan tidak tahu kalau akan seperti itu. Sudahlah...
*
Keesokan harinya...
”(Namakamu) gak dateng ya?”
”Kayaknya sih, iya, soalnya biasanya kan dia dateng yang paling awal..”
”Aldi kayaknya juga gak dateng deh..”
”Oia, kok gue baru sadar ya.”
”Tuh anak baru juga gak dateng kayaknya..”
”Kok bisa barengan gini ya?”
Temannya mengangkat bahu pertanda tak tahu.
Percakapan singkat itu berakhir begitu saja ketika suara bel pertanda masuk berdering.
*
”(Namakamu)?”
(Namakamu) yang emang udah bangun dari tadi itu pun menengok ke pintu kamarnya, dimana sumber suara berasal. Mamanya dengan celemek yang masih terikat berjalan menghampirinya, bersama nampan yang berisi makanan.
”Makan dulu, terus minum obat.” Kata Mamanya.
”lemes banget, Ma.”
Menghela napas, wanita paruh bayah itu memandang (namakamu) dengan ibah. ”Makanya kalo main itu inget waktu, jangan lama-lama, kakinya sampe biru gitu,” Mama (namakamu) memegang pelan kaki kanan (namakamu), tepat di atas mata kaki ada bekas luka memar kebiruan. ”Masih sakit?”
(Namakamu) mengangguk. Kemudian dia teringat sesuatu.
”Ma, Aldi gak ada dateng?”
Fokus Mama (namakamu) tak lagi ke memar di kaki (namakamu). Wanita itu menoleh ke putrinya dengan kening berkerut.
”Aldi?”
”Iya, Ma, Aldi.” Suara (namakamu) agak di tekan membuat Mamanya tersenyum.
”Oh, dia, tadi mama baru aja ke rumah tante Mely terus katanya Aldi gak sekolah juga. Demam.”
Giliran kening (namakamu) yang berkerut. Aldi sakit juga? Demam? Apa mungkin karena kemarin sore di ke cebur di kolam ikan?

”Hm, udah jangan mikirin Aldi terus dong. Pikirin diri kamu dulu yang juga sakit terus belom makan dan minum obat. Kalo kamu udah mendingan kan kamu bisa liat Aldi.” Mamanya mengambil nampan yang sempat di letakan di nakas sebelah tempat tidur (namakamu) lalu menyendok nasi untuk (namakamu).
”(Namakamu) bisa sendiri.” Tapi (namakamu) menerima suapan itu juga, dan waktu pun berjalan dengan sangat singkat tanpa sadari nasi dan lauk yang ada di piring itu lenyap tanpa sisa.
”Sekarang minum obat.” Kata Mamanya.
(Namakamu) membenarkan sedikit posisi duduknya. Ketika Mamanya memberinya dua butir obat. (Namakamu) segera melahapnya lalu cepat-cepat minum air banyak-banyak.
Pait!
*
”Kok bisa kayak gini sih? Emangnya kamu ngapain aja? Kemarin perasaan Mama baik-baik aja, terus kenapa badan kamu semua bisa sakit kayak gini. Kamu berantem?”
Iqbaal tak menggubris ucapan Mamanya. Dia tetap diam tanpa berusaha menunjukan sedikitpun tanda-tanda kalau dia ingin menjawab segala pertanyaan yang di lontarkan Mamanya.
Mamanya kemudian berjalan mengelilingi tempat tidurnya dan berhenti tepat di sebelah kiri tempat tidur, dimana posisi jendela berada.
”Iqbaal, jawab pertanyaan Mama.” Sambil berkacak pinggang, Mamanya menatap Iqbaal penuh kemarahan.
Iqbaal menghela napas pendek, lalu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. ”Udah jam sembilan, Mama gak kerja?”
”Jawab pertanyaan Mama, Iqbaal.” Ulang Mamanya, setiap kata dalam kalimatnya dia tekan penuh kegeraman.
”Iqbaal capek, mau tidur.” Tanpa memperdulikan Mamanya yang masih menanti jawaban dari dirinya, Iqbaal langsung memunggungi Mamanya dan menarik selimut sampai menutupi sebagian dirinya.
”Iqbaal! Mama ini capek tau gak, pergi pagi pulang larut malam, cuma karena mama mau kamu itu gak kayak anak orang lain. Mama kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kamu, mama berusaha sekuat tenaga supaya kamu bahagia. Makan teratur, uang saku ada, segala kebutuan kamu terpenuhi—sekarang kita ke rumah sakit!”
*
”Gimana, Dok? Anak saya baik-baik aja kan? Ada masalah sama punggungnya?” Mama Iqbaal cepat-cepat menghampiri dokter ketika pintu ruang pemeriksaan terbuka.
”Dia baik-baik aja, mungkin cuma ada sedikit masalah kecil yang terjadi pada punggungnya. Dia cuma jatuh, nanti malam mungkin rasa sakitnya udah hilang.” Jelas dokter itu lalu menyerahkan hasil rontgen yang sempat di lakukan. ”Ini hasil rontgen, dan anak ibu memang gak apa-apa.”
Mama Iqbaal menerima hasil rontgen itu lalu menatap Iqbaal yang berdiri di sebelah dokter itu. Dia minta penjelasan.
”Maaf ya, dok, mama saya memang berlebihan.” Kemudian Iqbaal melangkah pergi meninggalkan dua orang itu, dan tak lama dokter pun pamit pergi pada Mama Iqbaal.
*
(Namakamu) berjalan setengah berlari, saat dia menapaki kakinya di perkarangan sekolah, di dapatinya Iqbaal sedang berjalan di koridor seorang diri.
”Dor!”
Iqbaal menoleh datar pada (namakamu), membuat (namakamu) tersenyum lebar percis seperti gadis tolol.
”Kenapa lo, pagi-pagi muka udah kusut aja kayak baju rumah gue yang belom di setrika.”
Sebelah alis Iqbaal terangkat. Memangnya ekspresi wajanya keliatan bangat apa kalau dia lagi bete?
”Engga, biasa aja.” Dalih Iqbaal, lalu dia tersenyum cerah. Secerah matahari di pagi hari.
”Boong lo!” (Namakamu) meninju bahu Iqbaal.
Iqbaal meringis.
”Ups, sori, masih sakit ya?”
”Lumayan.” Iqbaal mengusap pelan bahunya. Pukulan (namakamu) ternyata sakit juga.
(Namakamu) menunduk seakan merasa bersalah karena kemarin udah ngebuat Iqbaal jatuh dari tangga.
”Maaf ya, gue bener-bener gak sengaja kok.” Kata (namakamu) tulus.
Iqbaal tertawa pelan.
”Kok malah ketawa sih, lo maafin gue atau engga?” (Namakamu) menengadah dan menatap bingung pemuda di hadapannya ini.
Iqbaal menggeleng.
Mulut (namakamu) terbuka lebar.
Lucu banget, pikir Iqbaal dangkal.
”Ssh, maafin gue dong.” Rengek (namakamu) sambil menarik-narik seragam sekolah Iqbaal, sadar kalau beberapa murid mulai memperhatikannya, (namakamu) pun menjauhkan tangannya. ”Maafin ya?” Bisik (namakamu) di telinga Iqbaal, yang malah membuat Iqbaal kembali tertawa.
Iqbaal menggeleng lagi.
”Ish, gak lucu.” (Namakamu) kesal, dia menjauhkan dirinya dari Iqbaal.
”Ada syaratnya.”
”Apa?” Karena saking ingin tahu dengan syarat yang akan di berikan oleh Iqbaal, (namakamu) sampai mencondongkan wajahnya, dan beberapa detik setelahnya terdengar suara desas-desus dari murid-murid perempuan yang duduk tak jauh dari tempat (namakamu) dan Iqbaal mengobrol.
Iqbaal ingin tertawa tapi karena wajah (namakamu) yang terlalu dekat, dia hanya tersenyum lebar lalu menjauhan wajah (namakamu) dengan menekan hidungnya.
”Aldi mana?”
”Gue lupa, ya ampun,” (namakamu) menepuk keningnya. ”Dia sakit, demam, belum bisa bangun, mungkin gara-gara gue kemarin, yang nolak dia ke kolom, tapi kan gue gak sengaja, ya ampun, Aldi, gue sampe lupa kasih tau lo, gue kemarin juga gak sekolah gara-gara kaki gue sakit banget, itu semua gara-gara sih sipit. Gara-gara dia kita jatoh dari sepeda, seharusnya gue gak perlu nyesel karena udah impas, dia demam, kaki gue sakit, yaudah deh ah, biarin aja...”
(Namakamu) yang keasikan mengoceh sampai tidak sadar kalau Iqbaal kembali tertawa karena aksinya.
”Lo lucu banget sih, (namakamu).” Iqbaal gemas dengan (namakamu), saking gemasnya dia menarik kedua pipi (namakamu).
”Sakit!! Ya ampun, Iqbaal!” (Namakamu) berteriak, dan ketika Iqbaal melempas tangannya di pipi (namakamu), (namakamu) mengusap pipinya yang mulai terasa perih.
”Makanya lo jangan ngoceh terus dong, telinga gue sakit nih. Diem, oke?”
(Namakamu) memprout bibirnya. ”Iya iya, gue diem deh.”
Senyum kembali terukir di wajah Iqbaal. ”Gitu dong,” dan sekali lagi Iqbaal menarik pipi (namakamu), kemudian dengan tanpa merasa bersalah dia melangkah pergi meninggalkan (namakamu) gitu aja.
Mulut dan mata (namakamu) terbuka lebar. ”Dasar bocah, gatau apa kalo pipi gue sakit banget—IQBAAL!!”
*
”Syaratnya apa?” Tanya (namakamu) begitu Iqbaal kembali dari toilet.
Sekolah sudah di bubarkan kira-kira 10 menit yang lalu. (Namakamu) dan Iqbaal berada di parkiran yang mulai sepi, hanya tersisa beberapa kendaraan saja di parkiran ini, mungkin kebanyakan milik para guru.
Iqbaal yang masih fokus pada ponselnya, sepertinya tidak mendengarkan pertanyaan (namakamu).
”Baal, syaratnya apa, katanya lo mau kas..”
”Ya, halo? Iya, aku masih di sekolah—belum pulang ada jam tambahan—kan ada bibi di rumah—ya.” Raut wajah Iqbaal sangat kesal saat mendapat telpon entah dari siapa, (namakamu) pun yang memang belum pernah melihat Iqbaal marah atau sekedar memperlihatkan wajah kesalnya itu tiba-tiba terdiam.
Sadar kalau ada garis ketakutan di wajah (namakamu), Iqbaal tersenyum lalu berkata. ”Temen gue, resek banget.”
(Namakamu) hanya ber'oh' panjang sambil mengangguk-ngangguk.
”Yaudah, sekarang lo ikut gue.” Iqbaal narik tangan (namakamu) dan memerintahkannya supaya naik ke jok motor.
”Tunggu dulu, syaratnya apa?” (Namakamu) menahan Iqbaal, dia kan belum tahu syaratnya apa dan ini mau kemana lagi? -__-
”Ini syaratnya.”
(Namakamu) masih belum paham.
”Temenin gue seharian.”
”Hah?” Agaknya keterkejutan (namakamu) terlalu berlebian.
”Temenin gue seharian, (namakamu), gue bosen di rumah terus, sekalian kita beli sesuatu untuk Aldi. Nah, Aldi sukanya apa?” Jelas dan tanya Iqbaal.
(Namakamu) berpikir, apa ya yang paling di sukai sahabatnya itu. Kayaknya Aldi suka apa aja deh yang berhubungan dengan makanan. Sama seperti dirinya.
”Makanan.”
”Oke, naik buruan.”
Mengangguk, (namakamu) pun menuruti perintah Iqbaal.
*
(Namakamu) belum pernah pergi sama laki-laki selain Aldi, (namakamu) belum pernah di bonceng naik motor selain Aldi, (namakamu) juga belum pernah jalan-jalan sama laki-laki selain Aldi. Mungkin karena terbiasa melakukannya bersama dengan Aldi, (namakamu) malah deg-deg-an gak jelas kayak gini sewaktu duduk di belakang Iqbaal.
Iqbaal bawa motornya gak terlalu ngebut tapi kenapa (namakamu) ngerasa kalau dia bakalan jatoh? Oemji, gue kenapa sebenernya?
(Namakamu) menghela napas.
”(Namakamu), taman yang paling deket di sekitar sini dimana?” Suara Iqbaal nyaris membuat (namakamu) terjerembab. Ini anak gak suka di kagetin tapi dia suka banget ngejutin orang.
”Belok kanan.” Kata (namakamu) saat di depan ada pertigaan.
”Lo kenapa sih?” Iqbaal agaknya merasakan sesuatu yang aneh pada suara (namakamu).
Lama sekali (namakamu) menjawab, baru saat Iqbaal selesai belol, gadis itu bersuara. ”Gue gak pa-pa.”
Tidak ada yang bersuara lagi setelah itu karena beberapa meter lagi motor Iqbaal akan tiba di sebuah taman, yang sepertinya ramai akan pengunjung. Kebanyakan adalah remaja-remaja yang masih mengenakan seragam sekolah seperti mereka.
Selesai memarkirkan motornya, Iqbaal dan (namakamu) berjalan beriringan di jalan yang terbuat dari paving. Di pinggir jalan kecil ini di tumbuhi bunga asoka yang subur, seperti kebanyakan taman lainnya. Tapi sudah sejauh ini mereka berjalan, mereka belum menemukan kursi kosong, kayaknya semuanya udah di pake sama pengunjung yang lain.
”Kursinya gak ada yang kosong lagi deh kayaknya.” Iqbaal menghentikan langkahnya dan menyapukan pandangannya kepenjuru taman.
”Kita kan belom ngecek semuanya. Kesan belum, kesitu belum, nah, di deket pohon itu kayaknya juga ada kursi deh, terus di kolam yang ada di taman ini juga ada kursi, panjang lagi. Masih ada deh, jangan takut ke habisan kursi.”
Kayaknya (namakamu) udah sering kemari dan kayaknya dia emang yang lebih tahu dari Iqbaal. Kalau gitu Iqbaal diem aja deh, ngikutin kemana (namakamu) pergi.
”Nah, kan bener, masih ada kursi kosong,” (namakamu) segera menarik tangan Iqbaal saat melihat sebuah kursi kosong tanpa penghuni. Tempatnya juga bagus, teduh di bawah pohon yang rindang. Cocok banget deh kalau untuk panas-panas begini, dan apalagi kaki (namakamu) tiba-tiba aja terasa keram, mungkin karena memar yang masih membekas di kakinya.
Iqbaal yang di tarik sama (namakamu) sontak aja kaget karena dia lagi ngelamun.
”Yah, yah, yah, kok di dudukin sih,” Langkah (namakamu) terhenti beberapa meter dari kursi incarannya. Ternyata sebelum (namakamu) sampai di kursi itu, udah ada orang lain duluan yang duduki. Emang nasib. ”Kaki gue padahal udah sakit banget.”
Iqbaal gak inget kalau kaki (namakamu) sedang sakit, jadi saat (namakamu) mengeluh tentang kakinya, Iqbaal pun menjadi merasa bersalah.
(Namakamu) jongkok saking sakitnya. Dia udah gak kuat untuk berdiri. Tak lama Iqbaal juga ikut jongkok di depan (namakamu).
”Lo mau es krim?”
(Namakamu) yang lagi mengaduh-aduh kesakitan itu pun mendadak menengadahkan wajahnya. Wajah kesakitannya berubah jadi segar saat mendengar tawaran Iqbaal, (namakamu) buru-buru mengangguk semangat.
Iqbaal tersenyum. ”Tunggu disini, gue kesana dulu.” Setelah melihat (namakamu) mengangguk, Iqbaal segera berlari ke arah penjualan es krim yang jaraknya emang lumayan jauh.
”Iqbaal kalo di liat-liat ganteng juga, udah ganteng, sering senyum, gak kasar kayak Aldi, baik, sopan sama cewek, beda banget sama Aldi!” Dumel (namakamu) tiba-tiba, (namakamu) sendiri tak mengerti kenapa kalimat seperti itu bisa keluar dari mulutnya. ”Tapi Aldi asik juga kok. Aldi keadaanya sekarang gimana ya? Kok gue malah pengen cepet-cepet pulang.”
Berselang lima menit baru Iqbaal kembali bersama dua cup es krim, di tangannya ada dua rasa; stoberi sama cokelat, tapi ada yang ganjil dari Iqbaal. Tas sekolahnya mana?
(Namakamu) pikir Iqbaal bakalan kasih yang stoberi sama (namakamu), ternyata Iqbaal malah kasih yang cokelat.
”Kita makannya sambil jalan aja ya? Lo masih sanggup jalan? Tadi gue liat disana ada kursi kosong.” Iqbaal menudingkan telunjuknya ke arah penjual es krim, beberapa meter dari situ memang ada kursi kosong malah ada tiga kursi yang kosong.
Tapi jauh banget...
”Emangnya kalo gue gak sanggu jalan, lo mau gendong gue?” Cibir (namakamu) tanpa melihat kearah Iqbaal, dia sibuk menjilati es krimnya.
”Gak ah, lo pasti berat.” Tolak Iqbaal mentah-mentah.
”Yaelah, lo sama aja deh kayak Aldi, banyak alesan bilang aja kalo lo emang gak sanggup gendong gue. Payah!” Ejek (namakamu) sambil mengibaskan tangannya.
Entah kenapa Iqbaal selalu ingin tertawa kalau melihat bagaimana (namakamu); mengoceh, marah, ngambek dan lainnya. Gadis itu tidak pernah melakukannya dengan benar, seperti saat ini dia malah asik menjilati es krimnya padahal dia sedang protes kan?
”Eh buset gempa.” (Namakamu) terkesiap begitu tiba-tiba saja dia merasakan seperti terbang(?) Tapi pada kenyataannya, dia sekarang berada dalam gendongan Iqbaal.
Ini beneran?
”Palingan juga dua meter jalan, lo udah nuruni gue.”
”Kita liat aja nanti.”
*
Perlahan namun pasti pengunjung taman ini mulai pulang. Padahal sekarang masih pukul 3 sore, tapi kenapa orang-orang ini sudah pulang lebih dulu atau mungkin karena mereka disini sudah sangat lama. Tidak apalah, dengan begini suasana lebih damai.
Iqbaal dan (namakamu) masih duduk di kursi di dekat penjual es krim, (namakamu) sangat betah duduk berlama-lama disini, apalagi kalau ada setumpuk makanan menemaninya. Iqbaal memang sempat pamit sebentar pada (namakamu) untuk membeli makanan ringan yang ada di seberang jalan, (namakamu) tidak keberatan kalau hal ini menyakut dengan makanan.
”Lo sama Aldi udah temenan lama banget ya?” Tiba-tiba pertanyaan Iqbaal memecahkan kesunyian yang ada.
”Gue sam+@"'@#*..”
”Habisin dulu, baru ngomong.” Usul Iqbaal yang begitu risih dengan (namakamu) yang kesulitan berbicara karena makanan sangat penuh di mulutnya.
(Namakamu) mengangguk dengan susah payah, lalu setelah itu dia menjawab pertanyaan Iqbaal.
”Gue sama Aldi udah di takdir kan berteman bahkan sebelum kita berdua keluar dari perut emak kita.”
Iqbaal mendesah bingung, tapi dia diam saja, penjelasan (namakamu) belum selesai.
”Orang tua kita udah berteman sejak sekolah, makanya gue sama Aldi itu deket karena orang tua kita sering hangout bareng, liburan bareng dan semuanya bareng-bareng,” (namakamu) berhenti untuk meneguk air mineral yang ada di sebelahnya.
”Lo sama Aldi satu SD, SMP dan SMA?” Tanya Iqbaal.
”Yup, dan kita selalu satu kelas. Keren kan?” (Namakamu) menatap Iqbaal dengan senyum bangganya.
Iqbaal mengangguk. ”Kok bisa gitu ya?”
”Namanya udah takdir, kita mah tinggal jalani aja.” Ucap (namakamu) sok motivator, (namakamu) mengambil snack di dalam plastik lalu membukanya.
Dia belum kenyang juga?, tanya Iqbaal dalam hati. (Namakamu) udah makan sejak mereka duduk disini dan sampai detik ini, gadis itu belum berhenti mengunyah.
”Dan mungkin aja kalian berdua itu udah di takdirkan bakalan jadi suami-istri.”
(Namakamu) tersedak, tenggorokannya terasa perih, snacknya jatuh, (namakamu) buru-buru minum sampai air dalam botol itu habis.
Iqbaal melongo. Ada yang salah?
”Hahhh.. Hahhh...” napas (namakamu) tersengal, dia mirip orang yang baru aja d kejer setan. ”Becandaan lo gak lucu banget.”
”Becandaan?” Sebelah alis Iqbaal terangkat.
”Aldi bukan tipe gue, gue juga bukan tipenya Aldi. Kita bukan jodoh, dan gue gak mau jadi istrinya Aldi, bisa-bisa gue di marah-marahin terus sama dia, gue gak kebayang kalo gue bakalan jadi istrinya. Aldi itu cerewetnya ngelebihi ibu kos yang nagih uang kontrakan!”
Iqbaal terkekeh. ”Oh, bukan tipe lo. Jadi cowok tipe lo kayak apa?”
(Namakamu) buru-buru menoleh ke arah Iqbaal. Iqbaal adalah orang pertama yang nanya kayak gini ke dia. Rasanya kok aneh ya?
”Kayak lo, eh maksud gue, iya, emang kayak lo tapi sifatnya doang.” (Namakamu) salah ngomong, bukan salah ngomong, dia ini keceplosan.
”Emangnya sifat gue kayak mana?” Iqbaal mulai suka melihat (namakamu) yang gelagapan kayak gini, belum lagi rona merah yang menyapu wajahnya.
”Hmmm,” (namakamu) ber-hm- panjang, dia bingung mau ngomong apa. ”Ya gitu, pokoknya lo itu baik, gak kasar sama cewek, sopan, gitu deh, yaelah kenapa kita jadi ngomongi kayak gini sih!” Tuh kan (namakamu) kalau lagi salah tingkah pasti lucu.
(Namakamu) daritadi gerak-gerak terus, dan jelasinnya itu rada gak jelas, jadi untuk membuat (namakamu) semakin gelagapan, Iqbaal narik dagu (namakamu) sampai hidung mereka bersentuhan.
(Namakamu) melongo, napasnya tertahan.
”Lo kalo ngomong itu liat lawan bicara lo, dan kalo ngomong itu yang jelas, pake titik-koma, supaya gue bisa paham sama apa yang lo bilang,” Suara Iqbaal lebih dalam dan lembut kalau deket kayak gini. (Namakamu) ngerasa kalau dia kayak di intimidasi sama suara Iqbaal. ”Terus apalagi?”
”Terus lo itu cowok pertama yang buat gue deg-deg-an kalo ada di deket lo.” (Namakamu) menjawab tanpa sadar, tatapanya kosong, dia terlalu terbawa suasana dengan sorot tajam mata Iqbaal.
(Namakamu) mencengkram kuat seragamnya saat sudut-sudut bibir Iqbaal mulai terangkat dan membuahkan sebuah senyuman yang amat menawan.

Desire And Hope - Muhammad AryandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang