Part 7

1K 45 15
                                    

Terasa berat saat ia mencoba membuka matanya. Ketika netranya telah terbuka, ia baru merasakan perih di bagian kewanitaannya serta pergelangan tangannya yang lecet.

Beberapa kali ia mengerjapkan matanya, mencoba menajamkan pengelihatannya serta mengenali ruangan tempat nya berada.

Ia tidak salah, dan tempat ini adalah kamarnya.

Marta kembali mengingat kejadian menyakitkan yang membuatnya seolah menjadi pelampiasan Dimon tentang kemarahan, kesedihan juga sesuatu yang coba pria itu tahan sebelumnya. Ya, Dimon melakukan semuanya dengan brutal dan tidak meletakkan kelembutan sedikitpun.

Dadanya sesak, dan itu mengingatkannya tentang ruangan yang menjadi alasan Dimon begitu marah padanya. Ia tidak bodoh untuk mengetahui bahwa gadis di foto itu bukanlah Aurora, melainkan adik perempuan Dimon.

Tulisan di balik foto itu juga menjelaskan semuanya, dan satu hal yang ia yakini kenapa Aurora menjadi spesial di bandingkan dirinya.

Aurora adalah Prim di mata Dimon.

Marta tersentak dari lamunannya saat pintu kamarnya terbuka.

"Akh..." Marta meringis sakit saat mencoba terduduk. Bagian bawahnya benar-benar menyakitkan saat di gerakan. Jadilah ia dengan susah payah terduduk, sambil melihat kedatangan seseorang yang mengejutkannya.

Marta membulatkan matanya tak percaya dengan siapa yang mengunjunginya sekarang. Ada perasaan takut serta perasaan senang yang bercampur menjadi satu. Takut jika Dimon masih marah, dan senang ternyata Dimon masih perduli padanya.

Ia tidak tau mana yang akan di rasakannya nanti, tapi yang pasti, luka memar di sudut bibir pria itu menjadi tanda tanya di otaknya.

Niat bertanyanya, ia urungkan saat Dimon mendekat ke arahnya dengan tatapan dingin yang membuatnya takut, berdiri di samping tempat tidur dengan kedua tangannya berada di belakang pinggul pria itu.

Satu hal yang Marta yakini, Dimon sedang tidak senang.

"Aku tidak suka ada orang yang masuk ke ruangan itu tanpa izinku, Marta"

Marta mengak salvianya kasar mendengar nada bicara Dimon yang kelewat datar namun menyiratkan amarah. Ia tak mampu berkata apapun, selain kembali menumpahkan tangisnya.

"Dan kau adalah orang yang tidak ku harapkan masuk keruangan itu" kata Dimon lagi. Kali ini Marta memberanikan menatap pria itu.

"Apa yang ku lakukan padamu, itu akan mengingatkanmu bahwa aku bisa melakukan hal yang lebih buruk dari itu-

-aku akan tetap mengizinkanmu tinggal di sini dan menjadi teman sekaligus pelayan Aurora"

"Aurora is not her, Dimon"

Kalimat yang di katakan Marta sepontan langsung membuat Dimon membulatkan matanya penuh amarah, Rahangnya mengeras, dan kembali menangkup rahang wanita itu kasar.

Dari dekat, Marta tau bahwa Dimon benar-benar marah sekarang.

"Jangan campuri apa yang bukan urusan mu Marta, Ingat siapa dirimu sebelum aku membawamu kesini" Kata Dimon penuh penekanan, wajahnya memerah pemuh amarah. "Tetap lakukan apa yang ku perintahkan padamu, Marta. Jaga Aurora tetap berada di rumah ini atau akan ku kembalikan kau ke tempat busuk di mana aku menemukan mu. Mengerti"

Air mata Marta tumpah, sedikit meringis ia mengangguk mengerti. Ia sedikit tersentak saat Dimon melepaskan cengraman pada pipinya kasar. Rasanya sakit, dan bertambah sakit saat fisik serta jiwanya bersama-sama terluka.

Rasanya menyakitkan, bahkan lebih menyakitkan dari saat ia menjadi budak di tempat pelacuran di mana mantan kekasihnya menjualnya hanya untuk beberapa lembar uang. Rasanya sangat menyakitkan saat orang yang kau cintai memperlakukannmu seperti sampah.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang