2. Password

21.8K 3.9K 281
                                    

Setelah memberi nasihat kepada Zenata, gue maupun Inara memutuskan untuk pulang, dan Zenata menyuruh Fikar untuk mengantar kami berdua pulang. Perintah Zenata seakan mutlak bagi Fikar, dan ia menuruti perkataan Zenata tanpa pikir panjang meski gue dan Inara sudah menolaknya.

Fikar mengantar Inara terlebih dahulu, baru mengantar gue. Inara tinggal bersama kedua orangtuanya, sedangkan gue merantau sendirian di Jakarta. Orangtua gue tinggal di Yogyakarta, di sini gue menyewa sebuah unit apartemen yang letaknya tidak jauh dari kampus. Kadang Inara atau Zenata akan bergantian untuk menginap di apartemen untuk menemani gue di kala gue membutuhkan teman berbagi.

"Gimana Bang Kavindra?" tanya Fikar yang membuat gue mengulum senyum.

"Kak Kavin baik-baik aja, yang harus ditanyain gimana tuh sebenernya lo, Kar. Lo nggak apa-apa?"

"Gue? Gue kenapa?" tanya Fikar pura-pura bingung.

"Aldo udah cerita ke Inara kalau lo tadi ngehajar Danu di kampus. Sampai kapan lo mau diem dan memendam perasaan lo ke Nat? Sampai di depan rumah lo dan Nat ada tenda pernikahan Nat sama orang lain?" tanya gue sarkas.

"Egi, Eh, salah, maksud gue Git, apaan sih maksud lo?"

"Mau lo jadian sama siapa pun, kayaknya Zenata Alsava satu-satunya pemilik hati lo, Kar."

Fikar terdiam, matanya lurus ke depan untuk menatap kepadatan lalu lintas, menghindari kontak mata yang gue buat. Rautnya berubah menjadi serius saat gue membahas topik Zenata. Benar-benar bukan seperti Fikar yang gue kenal.

"Kar, nggak usah mengelak. Gue yakin lo udah lama kan nyimpen rasa untuk Nat? Kalau memang lo selama ini menunggu kesempatan untuk masuk ke hatinya, inilah saatnya, Kar."

"Git... lo nggak sakit hati kan?" Tiba-tiba Fikar menyeringai. Gue tau kalau saat ini Fikar sedang meledek gue karena hubungan kami dulu.

Tangan gue reflek bergerak untuk memukul kepala Fikar yang berucap asal. Semenjak kami mengakhiri hubungan kami satu tahun yang lalu, gue benar-benar menganggapnya sebagai seorang teman, tidak lebih. Lagipula gue sudah memiliki Kavindra sekarang.

"Gue udah tau kali dari dulu juga lo lebih peduli sama Nat dibanding gue, padahal kita lagi pacaran waktu itu."

"Gagal move on kan lo dari gue?" tebak Fikar dengan narsis. Gue benar-benar menyesal pernah menjalin hubungan dengan orang macam ini.

"Kavindra udah ngajak gue tunangan! Jangan sembarangan lo!" ungkap gue pada akhirnya.

"Demi apa? Serius?" Fikar terlihat begitu terkejut.

Gue mengangguk mengiyakan, sebetulnya ini semua masih rencana karena Kavin masih menunggu orangtuanya untuk bertemu dengan orangtua gue untuk membicarakan hal ini lebih jauh, tetapi mereka sudah menyetujuinya.

Hubungan gue dengan Kavin benar-benar berjalan mulus, berawal dari sering bertemu di perpustakaan, menghabiskan waktu bersama, membantu mengerjakan tugas, dan mengantar pulang, akhirnya kami mersemikan hubungan. Terhitung delapan bulan gue sudah menjalin hubungan dengan Kavin. Si cowok kalem, pendiam, cukup serius yang membuat gue nyaman. Nggak kayak Fikar yang berisik dan membuat kepala gue pusing tiap dekat dia.

"Lo yakin mau tunangan? Kita baru mau semester empat Git." Fikar tiba-tiba berubah menjadi serius.

"Emang salah?" tanya gue bingung.

"Nggak salah sih, bokap lo kan punya usaha properti dari kayu jati, jadi lo pas lulus juga udah jelas, nggak perlu nyari kerja. Kavin juga bokapnya punya usaha, dia tinggal nerusin. Cuma ..." perkataan Fikar menggantung.

"Cuma apa?"

"Emang lo yakin kalau Kavin orangnya? Nikah itu untuk seumur hidup."

Dari awal kami menjalin hubungan, gue dan Kavin nggak pernah menemukan masalah yang berarti. Saat Kavin mengajak gue meresmikan hubungan kami lebih lanjut, gue nggak menolak. Karena menurut gue kami mempunyai kepribadian yang mirip. Bukankah jodoh itu cerminan diri?

Jalan TolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang