Arogansi

121 7 2
                                    

Kisahku dimulai disini, di pagi hari yang cerah ini, dimana matahari menyinari dengan riang anak-anak remaja berwajah polos. Orang-orang menyebut masa kami adalah masa paling indah, masa putih abu-abu, masa dimana kita merasakan cinta pertama, putus cinta, juga persahabatan bahkan perselisihan, hingga tawuran.

Kinar, namaku. Siswi yang tidak suka belajar, gemar gonta-ganti pacar, tampil cantik adalah yang terpenting. Cantik dalam konteks naturalitas, bukan sejenis cabe keriting.

Seperti biasanya, kami akan nongkrong di kantin untuk sarapan, yang kedua kalinya. Tiga gelas jus tomat mengisi meja kami. Topik pembahasan kali ini agak panas karena aku menolak kapten tim basket yang baru naik pangkat dua hari yang lalu.

"Tumben lo nolak? Sehari dua hari nggak apa kali, Nar."

"Biasanya lo juga gitu."

Mereka adalah teman-temanku, Cua dan Reyka.

"Gue bosen yang model kayak gitu." Jawabku jujur.

"Kalau gitu gantian, lo aja yang nembak cowok! 'Kan selama ini lo kerjanya ditembak mulu."

"Semua cowok mah mau sama gue, gila bege lo, Cu."

"Yeelah! Pede amat! Amat aja nggak pede-pede amat--" Reyka mengibaskan rambutnya, "Lo gak bakalan bisa taklukin yang satu itu, tuh," tunjuknya ke lapangan hijau sekolah.

Refleks aku memandangnya, iya dia. Dia yang memakai headset hitam, yang duduk di kursi kayu panjang cokelat di bawah pohon berdaun rindang.

"Nggak mau sama Kinar masa? Babat tuh, Nar, nggak mungkin dia nggak mau sama lo." Timpal Cua, yang berambut sebahu.

Aku meneliti sejenak, apakah iya laki-laki itu akan menolakku? Aku yang selama ini jadi rebutan. Maka, bulatlah tekadku.

"Ok, lo lihat di prom nanti, gue bakal pasangan sama dia. Kalau enggak, gue nggak bakal cukur ketek deh sebulan!"

Kataku arogan, berapi-api, apa susahnya mendekati laki-laki pendiam? Toh, mereka inginnya diperhatikan, setelah itu mereka akan luluh dan merasa kecanduan, saat itulah mereka akan bertekuk lutut. Gampang.

¤ ¤ ¤


Hari kedua setelah ikrarku.

"Tio, ada nengok Ara nggak?" Tanyaku.

"Tuh, lagi pacaran."

Seperti biasa, pada jam luang pelajaran, laki-laki itu selalu berada disarangnya. Dia, Ara. Laki-laki penyendiri. Pamornya adalah pacar pohon.

"A-ra?" Aku menyapanya, dengan senyum semanis mungkin.

"Siapa kamu?"

Sebuah shock terapi, dia tidak mengenal aku. "Em-- gue Kinar."

"Ada perlu apa sama saya?"

Sungguh? Mungkin kalian akan mengingat tokoh legendaris dari AADC, Rangga. Namun, rambut Ara tidak keriting. Rambutnya sedikit acak. Dia juga memakai kacamata. Seragamnya tidak rapi, layaknya anak laki-laki lain, kemeja yang dikeluarkan dan tidak memakai dasi.

"Nggak ada. Saya mau ngomong sesuatu aja sama kamu." Kataku sambil duduk paling ujung, menciptakan jarak yang sangat lebar.

Ara menutup komiknya yang bersampul detektif Conan, "Ngomong apa?"

"Sesuatu yang nggak pantes diomongin di sekolah-- gimana kalau diluar? Nanti malam? Ka-fe?"

"Sepenting apa hal itu? Soalnya saya gak suka habisin waktu untuk hal yang nggak penting."

"Penting!--" Aku menarik napas pelan, "--banget, gimana?" Masih dengan senyum. Oh, jadi komik itu penting.

"Jam tujuh, di monas. Saya nggak suka nunggu lama-lama."

Begitulah kesan pertama yang aku dapat. Bukankah memalukan? Pertama, dia menganggapku tidak penting. Kedua, dia menatapku setajam pisau. Ketiga, tipe laki-laki seperti apa yang anti menunggu? Menunggu itu dimana-mana hukumnya wajib.

Aku tidak mungkin menyerah sekarang, aku tidak mungkin tidak mencukur bulu ketiak selama satu bulan.

¤¤¤

09.01.2017


Dear readers,

Vote if you like!
Follow me if i'm worthy!
Comment if there's a bad or good sentences!
Check profile if you mind!

Thank youuuuu💕

Dia, Ara (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang