Prom

50 5 0
                                    

Dia, Ara. Laki-laki dalam setelan jas hitam. Berbahu kokoh nan lebar, tampan luar biasa.

Dalam balutan dress putih sederhana, aku melingkarkan tanganku pada lengannya, bereuforia dalam hati.

Gerbang masuk yang sengaja dihiasi bunga-bunga layaknya pesta pernikahan klasik menyambut indera penglihatan. Suasana outdoor membuatku bernostalgia pada pasangan vampire Edward dan Bella.

Tak banyak yang menyambut kami, kebayakan dari mereka tak suka sosok hebat disampingku. Kecuali dua orang miring yang sekarang sedang berlari menuju kami.

"Gila lo, Nar! Akhirnya kepincut juga!" Seru Reyka.

"Seneng deh lo nggak jadi pelihara jenglot," celetuk Cua.

"Maksud kalian?"

Ini yang aku takutkan, kenapa dua orang itu tidak bisa menjaga mulut mereka masing-masing.

Saat aku hendak menyanggah, Cua menerobos.

"Lah? Ra, kita tuh kemaren bikin taruhan. Gimana? Hidup lo berwarna 'kan? Cowok-cowok pasti pada iri sama lo!"

Cerocos panjangnya diakhiri tepuk tangan antusiasnya dengan wajah yang benar-benar polos bin mengesalkan.

Setrika? Mana setrika?

Colok! Colok!

Kira-kira begitulah arti pelototanku sekarang pada mereka berdua.

Ketegangan Ara dapat kurasakan dari terlihat mengerasnya rahang laki-laki itu. Matanya menatapku. Tajam? Tidak. Bukan kilatan pedang itu. Melainkan nanar, kecewa, dan hancur.

Seperti manusia yang mengira iblis adalah malaikat. Ara menaruh pengharapannya pada sayap hitam yang awalnya berkedok putih, yaitu aku.

Aku hanya bisa menggeleng, meyakinkannya lewat tatap mataku. Rasa bersalah memang ada, tapi takut kehilangan adalah yang lebih besar dari semua yang berkecamuk.

"Saya bisa jelasin semuanya."

Naas. Laki-laki itu memegang tanganku, meregangkan peganganku pada lengannya. Aku tak mau kalah, aku kukuh menggenggamnya, tak peduli apakah kulit laki-laki itu sakit atau tidak.

"Saya mohon."

Marahlah Ara! Jangan seperti ini. Kata yang terngiang-ngiang namun tertahan. Aku pasrah melepaskan. Malam itu, sebelum naik ke atas lantai dansa, Ara pergi, meninggalkanku.

Dia, Ara. Laki-laki yang sudah dua kali memunggungiku, meninggalkanku. Yang merubah tatapannya. Hingga aku sadar aku berarti, dihatinya.

¤¤¤


"Ara!"

Disinilah aku. Di depan rumahnya.

"Buka pintunya!"

Aku menggedor-gedor. Malam itu juga. Aku yakin ia berada di dalam, karena mobilnya sudah terparkir rapi di halaman. Sepedanya juga.

"Kamu tahu saya tulus apa enggak! Mungkin awalnya saya seperti itu, tapi semua berubah, sejak kita berteman hari itu--"

"Ara? Saya benar-benar jatuh hati sama kamu. Saya nggak bohong. Untuk berani berdiri disini, saya sudah menjilat ludah saya sendiri."

"Ara! Saya minta maaf."

"Saya nggak mau pulang, sampai kamu mau nemuin saya!"

Begitulah, aku ngotot, walaupun aku yang salah. Dan aku sudah gila. Dipertemukan dengan Ara, aku menjadi penurut kata hati. Ada sensasi berbeda dari rasa malu, aku merasa lega.

Tak lama. Pintu terbuka. Aku tahu, kini aku sudah menjadi kelemahan sekaligus kekuatan Ara.

Entah kenapa aku merasa sumringah.

Ara menatapku, sangat lembut.

"Saya heran, kamu ini perempuan macam apa?"

"Saya perempuan yang mencintai kamu."

Begitulah kami berbaikan. Aku menjelaskan semuanya pada laki-laki itu. Terkecuali perihal ketiak, aku menyebutnya sebagai tantangan perempuan sejati yang laki-laki tidak layak untuk tahu.

Dia, Ara. Milikku. Mulai malam ini sampai seumur hidupnya.

¤¤¤


19.01.2017

Dear readers,

Vote if you like!
Follow me if i'm worthy!
Comment if there's a bad or good sentences!
Check profile if you mind!

Thank youuuuu💕

Dia, Ara (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang