Happy

63 6 0
                                    

"Sukses ya buat ujiannya, bye Ara." Kalimat terakhir sebelum aku menutup telepon.

"Senyam-senyum aja! Prom seminggu lagi, nih." Celetuk Cua.

"Kok aura lo beda ya, Nar?" Tanya Reyka.

Iya. Mereka sedang berada di kamarku.

"Apaan sih, Rey? Beda apaan coba? Gue seneng karena ketek gue nggak bakal menjelma jadi jenglot!"

"Pipi lo merah, Nar! Ih, lihat deh Rey! Beneran tuh, Kinar suka sama Ara."

"Eh, Cu! Gue tuh nggak mungkin lah suka sama cowo model Ara, lo denger aja gue gimana ngomong sama dia tadi, kaku!"

Aku masih berdiri dan entah kenapa aku merasa gugup, lantasnya maling yang tertangkap basah. Akhirnya aku mengelak.

"Lo-lo pada mending pulang! Belajar buat UN, gosip aja taunya, sana! Sana!"

Begitulah aku mengusir mereka berdua. Tentunya aku juga mau belajar. UN bukan sesuatu candaan. Aku memang cuek saja saat ujian biasa, tapi kalau UN, siswa SMA gila mana yang bisa tenang melewatinya. Penentu masa depan. Bahkan penentu hidup dan mati.

Aku dan Ara membuat kesepakatan tidak akan saling telepon, kami bertekad untuk fokus ujian. Mulai dari hari minggu ini hingga kamis sebelum ujian terakhir.

Aku yang tak pernah berniat belajar berusaha dengan berapi-api. Aku mempertaruhkan masa depanku dengan bantuan sistem kebut semalam yang legendaris.

Hari pertama.

Hari kedua.

Hari ketiga.

Hari terakhir. Aku sudah bisa tenang. Aku sangat lega. Libur panjang sudah menanti. Semangatku tak kalah membara karena prom yang katanya akan meriah itu tinggal sembilan hari lagi.

Tak lupa. Aku juga sudah bisa menganggu Ara, sosok yang selalu muncul dikepalaku. Sosok yang dengan kata-katanya saja aku bisa kagum setengah mati. Sosok yang dengan wajah kakunya saja aku bisa terhipnotis.

Oleh karena itu, sehabis bel siap ujian. Aku langsung menuju sarang Ara.

Tetapi, dimana dia?

Dengan anggapan bahwa laki-laki itu masih di kelas, aku menunggunya.

Sambil menatap pohon aku menyapa, "Hay, pacar Ara," aku merasa geli sendiri.

Sekaligus iri. Pohon saja bisa diakui Ara sebagai pacarnya, tetapi aku harus menelan harga diriku sendiri dulu untuk menjadi temannya.

Selama sepuluh menit aku menunggu. Ara tak kunjung datang. Lapangan yang semula penuh beranjak kosong.

Akhirnya, Ara muncul!

Dari lorong paling sudut, laki-laki itu berlari kencang, tak melihatku.

"Ara!"

Dia yang sudah berada di lapangan parkir tidak mendengar suaraku. Secepat angin dia mengayuh sepedanya, meninggalkan gedung putih ini dan aku.

Penasaran. Aku melangkah ke lorong itu, menuju kelas Ara.

"Pak Fadli?"

"Iya ada apa Nak Kinar?"

Tak ku sangka kelas mereka sudah kosong. Tak ada lagi yang bisa kutanyai selain pak Fadli, salah satu guru kami. Aku pun memberanikan diri.

"Em-- gini, Pak. Em-- Ara, Pak. Ara kenapa?"

¤¤¤


16.01.2017

Dear readers,

Vote if you like!
Follow me if i'm worthy!
Comment if there's a bad or good sentences!
Check profile if you mind!

Thank youuuuu💕

Dia, Ara (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang