Chapter 2

36 12 5
                                    

Awan hitam menutupi sebagian langit yang kini mulai mengirimkan butiran-butiran basah membasahi bumi.
Seorang gadis cantik termenung dibalik jendela kaca kamarnya, memandang rintikan gerimis.
"Kamu kenapa sih harus ngilang kaya gini? Telfon gak pernah diangkat, nomor jarang aktif, sms ku gak pernah di balas katanya sesibuk apapun kamu bakal selalu ada buat aku?" Rara menangis, ia kecewa.

Rara melangkahkan kakinya menuju teras rumahnya. Ia mengedarkan pandangannya menikmati indahnya bunga-bunga pada taman di depan teras itu.
Sudah 2 bulan ia tidak mendapat kabar dari orang yang ia cintai.

"Ra?" Suara seseorang memenuhi ruang telinganya.
Rara tak langsung menoleh pada suara yang memanggil namanya. Ia pikir itu hanya halusinasi karena sebelumnya ia juga mendengar Dio mamanggil namanya. Nyatanya? Itu hanya bayang-bayang rindu yang menjelma.
"Ra?"
Panggilan kedua membuat Rara memutuskan untuk menoleh.
"Mas Dio?"
Dio segera menghampiri. Merengkuhnya dalam pelukan kerinduan.
"Aku minta maaf, aku baru sempat nemuin kamu hari ini aku sibuk sama kerjaan aku. Itu sebabnya aku gak bisa angkat telpon darimu juga bales sms kamu."
Rara tak membalas pelukan itu, ia masih tetap terdiam.
"Ini yang namanya selalu ada? Apa segitunya sampe bales sms aja kamu gak mau?"
"Kamu pasti kecewa sama aku. Aku bakal lakuin apa aja biar kamu maafin aku. Dan aku janji aku gak akan kaya gini lagi."
Rara melepaskan pelukan Dio. Ia menyeka air matanya.
"Kenapa kamu berubah? Tiba-tiba kamu kaya gini? Aku kecewa."
"Baru kali ini kan aku kaya gini? Aku janji ini yang pertama dan terakhir kalinya" Dio menggenggam kedua pundak Rara, meremasnya pelan.
"Ra, maafin aku." Ucapnya lirih. Dio menyeka sisa air mata di pipi Rara dengan ibu jarinya.
Tidak ada jawaban. Hening. Rara menundukkan kepalanya menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengangkat pandangannya menatap lekat pria di depannya ini.
"Kamu jangan pergi kaya gini lagi ya, aku khawatir."
"Kamu maafin aku Ra?"
"Aku gak bisa berlama-lama marah sama orang yang aku cintai." seulas senyum mengembang dari bibir Rara.
***
Keesokan harinya Dio kembali menemui Rara di rumahnya.
"Hai Ra..."
"Mas Dio? Kok gak ngomong kalo mau kesini?" Rara dikejutkan dengan kedatangan Dio yang tiba-tiba.
"Ayo mas masuk," Rara mengisyaratkan pada Dio agar masuk dan duduk di ruang tamu.
"Aku kesini mau kasih kamu sesuatu."
Rara mengerutkan keningnya heran.
"Sesuatu apa?"
"Tapi kamu harus merem dulu."
"Gak usah aneh-aneh deh mas"
"Siapa yang aneh-aneh? Kan biar surprice gitu."
"Hmm oke deh. Aku merem nih." Rara pun menuruti permintaan Dio. Ia memejamkan matanya rapat-rapat.
"Bentar ya, aku ambil dulu. Jangan ngintip!" Dio terlihat menuju ke balik pintu mengambil sesuatu lalu meletakkan tepat didepan Rara.
"Nah, sekarang buka mata kamu!"
Rara membuka matanya perlahan. Terlihat samar-samar sebuah teddy bear berukuran besar warna coklat. Kini matanya telah terbuka sepenuhnya.
"Mas?" Rara bertanya heran
"Buat kamu Ra," Seulas senyum mengembang dari bibir Dio.
"Aku gak lagi ulang tahun lho, ngapain di kasih boneka?"
"Buat nebus kesalahan aku kemarin." Dio menangkup kedua pipi gadis didepannya ini.
"Makasih ya mas, aku suka sama bonekanya." Rara meraih boneka itu.
***
Malam ini Rara terus memeluk boneka pemberian Dio.
"Aku kangen banget sama kamu, padahal baru tadi sore ketemu. Mungkin karena udah 2 bulan gak ketemu kali. Coba telfon deh." Rara meraih ponsel yang terletak di meja sebelah ranjangnya.
"Krek"
"Halo mas, lagi dimana?" Rara bertanya dengan semangat
"Dio di rumah sakit." suara perempuan dari seberang telepon.
"Siapa yang sakit? Terus ini siapa?"
"Dio. Kondisinya kritis. Kalo kamu penasaran langsung kesini aja."
Rara terbelalak mendengar jawaban tadi. Segera ia matikan sambungan telepon, bergegas menuju rumah sakit dengan mobilnya.
"Kamu kenapa sih mas? Tadi kan baik-baik aja." Air mata meleleh deras dari kedua ujung matanya.
***
Rara berlari kecil menelusuri koridor Rumah Sakit. Ia menuju ke ruang dimana Dio berada.
"Kamu Rara?" Tanya seorang perempuan cantik yang berada di depan ruang nomor 25 itu.
"Aku yang tadi jawab telfon kamu."
"Mas Dio kenapa mbak? Dia kenapa?" Rara mengguncang kedua pundak perempuan itu. Kemudian mencoba mengintip dari celah kaca pintu ruangan.
"Dia telat cuci darah kondisinya semakin lemah." Jelas perempuan tadi dengan bertiraikan air mata.
"Cuci darah?"

When You're GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang