Chapter 3

34 10 10
                                    

      Rara memandang heran wanita didepannya.
"Kamu gak tau? Kalo ginjal Dio bermasalah? 2 bulan ini kondisinya semakin lemah. Seharusnya di melakukan transplantasi ginjal tapi kita belum menemukan pendonornya."
Penjelasan perempuan tadi bagai kilat yang menyambar hatinya. Rara terperosot dari tempat berdirinya ia terduduk lemah didepan pintu. Kakinya lemas sekali, dunia seperti berhenti berputar. Ia menangis sejadinya. Seorang dokter keluar dari ruangan itu. Dengan sisa tenaganya, Rara mencoba berdiri. "Gimana keadaan mas Dio dok?"
"Kondisinya semakin lemah, kita berdo'a saja semoga Tuhan memberikan kesembuhan. Silahkan jika ingin menengok tapi 1 orang saja." Kemudian dokter itu berlalu meninggalkan mereka.

      Berlahan Rara memasuki ruangan itu menuju samping ranjang Dio. Air matanya masih mengalir. Dilihatnya Dio mulai membuka kedua matanya. Rara menggenggam tangan pria yang terbaling lemah.
"Kenapa kamu gak crita sama aku mas?"
"Jangan nangis Ra, aku baik-baik aja." Dio mengusap lembut air mata di pipi Rara
"Jadi kemarin kamu bohong? Sebenernya kamu gak sibuk? Kamu sakit?"
"Maafin aku Ra, a aku" Dio terbata-bata. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Digenggamnya erat kedua tangan Rara.
Tanpa mereka ketahui sepasang mata dibalik pintu menangis melihat kenyataan itu. Perlahan genggaman Dio lepas.
"Aku sayang sama kamu mas, bangun mas, kamu pasti sembuh. Ayo mas bangung buat aku!" Tetesan air mata itu jatuh tepat dipunggung tangan Dio. Matanya terbuka kembali, ia tersenyum lemah sebelum kemudian memejamkan matanya lagi.
"Mas?" tidak ada reaksi
"Kamu kenapa mas?" Rara mengguncang pelan tubuh Dio. "Bangun mas, bangun!" Air matanya terus mengalir.

      Seorang dokter masuk atas panggilan perempuan di luar ruangan tadi. Dokter itu memeriksa tubuh Dio.
"Gimana dok?" Rara masih terisak
"Maaf, pasien sudah tiada." Kedua perempuan itu terbelalak, tak percaya dengan pernyataan dokter.
"Mas Diiooo!!" Rara memeluk tubuh tak bernyawa itu. Sedang perempuan disampingnya terus menangis dengan memeluk pundak Rara.
                            ***
      Setelah selesai pemakaman, Rara tak kunjung mau pulang ia terus menangisi gundukan tanah itu.
"Ra, udah ayo kita pulang. Orang tua dan keluarga mas Dio juga udah pada pulang. Ikhlasin Ra, kasian Dio kalo kamu terus nangis kaya gini." Perempuan yang sedari tadi bersama Rara di Rumah Sakit itu terus membujuk Rara untuk pulang. Entah sudah kesekian kalinya. Akhirnya dengan gontai Rarapun berdiri menuruti kata perempuan tadi.
"Kayaknya kamu gak bisa pulang sendiri Ra, biar aku anter pake mobil kamu nanti pulangnya biar aku naik taxi." Tak ada respon dari Rara. Namun ia menurut saja.
Setelah sampai di rumah Rara, dua perempuan inipun masuk dan duduk berdampingan di ruang tamu.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Aku lagi gak pengen denger apa-apa mbak. Aku mau sendiri."
"Ini tentang Dio." Rara menoleh pada perempuan yang sedari tadi bersamanya.
"Apa?"
"Sebelumnya aku mau memperkenalkan diri dulu. Namaku Nina, tadi sebelum kamu sampai dirumah sakit, aku sempet berbincang sama Dio. Sebenernya, tadi Dio nemuin kamu pengen ngasih tau tentang penyakitnya tapi dia gak sanggup ngomong ke kamu, Dio yakin kamu bakalan sedih banget kalo tau semua ini. Akhirnya dia nulis surat ini buat kamu." Nina menyodorkan secarik kertas. Dibukanya pelan-pelan oleh Rara.
"Dear Rara
Hai Ra, kamu lagi ngapain?" Terbayang wajah dan senyuman pria itu. Rara berhenti membaca. Ia mengusap cairan di pipinya. Menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan membaca suratnya.
"Lagi gak sibuk kan Ra? Lewat surat ini aku mau ngejelasin semuanya. Sebenernya 2 bulan ini aku gak sibuk, aku sakit, aku juga harus cuci darah, harus banyak-banyak istirahat. Aku gak bisa kabarin kamu tentang kondisiku ini. Oh iya, lewat surat ini juga aku pengin ngungkapin rasa aku ke kamu, awal-awal kita kenal dulu aku nyaman banget sama kamu, aku udah anggep kamu sebagai adikku sendiri bahkan aku ngerasa kalo kamu itu kiriman tuhan buat gantiin adik aku, Ratu, yang udah meninggal 4 tahun lalu. Maaf juga aku gak pernah cerita sama kamu soal adik aku yang udah meninggal ini. Aku sayang banget sama kamu Ra, makanya sesibuk apapun aku, kalo kamu butuh aku, aku usahain selalu ada buat kamu."
"Jadi selama ini mas Dio cuma nganggep aku adik?"
"Kamu baca dulu sampai selesai." Usul perempuan disampingnya.
"Tapi setelah 2 tahun perkenalan kita, lambat laun rasa nyaman sama sayang itu berubah Ra, aku, aku mulai mengagumimu, aku menyukaimu, dan aku menyayangimu sudah bukan seperti dulu lagi, sudah bukan rasa sayang seperti kakak pada adiknya. Aku mencintaimu. Aku ingin menjagamu, melindungimu, menjadi pendamping hidupmu. Kamu tau Ra? Waktu kamu telfon dan ngabarin kalo kamu lagi sakit? Aku khawatir banget sama keadaan kamu. Disitulah puncak dimana aku menyadari bahwa aku benar-benar mencintaimu."
Rara berhenti membaca, ia meraba hatinya, memandang perempuan yang sedari tadi masih setia disampingnya. Ia masih menangis dengan menggenggam surat itu, matanya sembab, bibirnya bergetar.
"Aku denger kamu demam biasa aja udah khawatir banget apa lagi kalo nanti kamu tahu penyakitku. Aku gak akan ngebiarin bidadari cantikku ini sedih, terlebih kesedihan itu karenaku. Tapi apa dayaku? Aku gak sanggup bertahan dengan penyakitku. Kamu tau? Kamu satu-satunya penyemangat hidupku. Dan ada satu hal lagi yang harus kamu tau, tapi aku gak sanggup buat ngasih tau kamu untuk yang satu ini, hatiku akan lebih hancur jika aku mengatakan ini padamu sekalipun lewat secarik surat terakhirku. Biar perempuan yang sedari tadi bersamamu itu menjelaskan apa yang ingin aku sampaikan padamu.
Makasih Ra, kamu udah berkenan membaca surat ini, maafin aku, aku gak bisa nyatain perasaan aku secara langsung, tuhan keburu memanggilku. Hehe...
maafin aku, aku hanya bisa menjagamu hanya sampai detik ini. Jaga dirimu baik-baik.
Harus selalu kamu ingat, dimanapun aku berada dan sampai kapanpun aku tetap mencintaimu, hati kita telah menyatu dan biarkan aku membawanya. Membawa sejuta kenangan kita, membawa rasa sayang ini, membawa rasa cinta ini. Tapi ada satu yang tak ingin ku bawa, aku tak ingin membawa keceriaanmu, jadi tetaplah kamu menjadi Rara yang dulu. Iya, Rara yang dulu, dulu sebelum kamu kehilangan aku, ingat! Kamu hanya kehilangan sosok mas Dio tapi kamu gak akan pernah kehilangan hatinya, sebab sampai di bawah gundukan tanah ini, aku masih menjaga hatiku untukmu. Tetap tersenyum ya Ra, aku bakal kecewa banget dan gak akan bahagia disini kalo kamu sedih terus kaya gini. Ayo senyum Ra, senyum!"
Butiran basah menetes membasahi surat ditangannya. Ia tak ingin orang yang sangat ia sayangi kecewa. Ia tersenyum, senyum penuh sesak.
"Udah cukup apa yang mau aku sampein ke kamu. O iya, jangan lupa tanya ke Nina ya, tanya apa yang pengin aku jelasin. Kalo dia gak mau jawab, terus desak dia sampai kamu tau jawabannya. Okay? Dan aku harap, kamu gak marah dan gak benci sama aku setelah kamu tau semuanya.
Love you dear...
                    Orang yang sangat dan selalu mencintaimu, Dio.

      Rara tersedu menyelesaikan isi surat dari Dio. Ia memeluk erat Nina, Nina tak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan Rara yang terus menangis.
"Ra, kita merasakan hal yang sama." Rara melepas pelukannya. Memandang lekat wajah Nina.
"Apa yang pengin mas Dio sampein ke aku mbak? Sampe mas Dio gak sanggup bilang sendiri ke aku?"
"Oke, aku bakal ceritain semuanya dari awal sampe akhir." Nina menyeka air matanya. Sama seperti Rara, Nina masih terus menangis.
"Mungkin aku akan cerita mulai dari siapa aku." Nina melanjutkan ceritanya.
"Nina, nama kamu Nina kan? Terus apa lagi?" cecar Rara masih dengan air matanya.
"Kamu tenangin diri dulu, biar kita enak ngobrolnya."
Rara menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya.
"Kamu tau aku ini siapanya Dio?" Rara menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Nina.

When You're GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang