Menatap Langit

110 4 0
                                    

Farchana POV

Ku nikmati udara sore di pantai cinta kabupaten Trenggalek bersama ketiga sahabatku di akhir tahun. Sayang sekali Rifka Azhari Lubis tak bisa bermain bersama kita.

"Chana...kenapa diam aja?" Maharina menghampiriku dengan membawa makanan ringan yang sengaja kami beli di minimarket saat perjalanan kemari.

"Gaess sini deh!!" Aku meneriaki Irfiana Tulmanisa dan Syahida Salsabila yang tengah asik bermain air.

Mereka berjalan ke arahku.

Aku menggelar tikar dan ku lentangkan tubuhku. Ku tatap birunya langit dan ditemani derunya ombak pantai cinta yang menyapu pantai pasir putih.

Ketiga sahabatku mengikuti ku.

"Sekarang kita masih menatap langit yang sama. Kita tak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya, apakah kita bisa seperti ini setahun lagi dua tahun lagi bahkan lima tahun lagi?" Kataku lirih.

"Harapan kita pasti ingin bersama terus, tapi semua itu sudah menjadi kodrat alam bahwa tak mungkin kita akan bersama terus karena kehidupan kita tak mungkin tetap seperti ini." Ucap Syahida.

"Kamu benar mungkin pula aku akan menikah dengan orang yang jauh dan aku akan ikut bersamanya..." ucap Maharina yang masih menikmati snacknya.

"Ciee yang sudah punya calon..." timpalku.

"Kan kemungkinan Na..."

"Aku suka membayangkan kalau kita sudah menikah kita akan tetap bersama seperti ini dengan mengajak suami dan anak-anak kita...." kata Irfiana.

"Omongan kalian seperti sudah siap menikah..." kataku.

"Sebenarnya belum juga sih bahkan aku sendiri belum punya keinginan untuk menikah. Kamu tahu, setelah lulus kuliah aku ingin kerja ke luar kota...?" Kini ucapan Irfiana lebih serius.

"Ngapain? Jadi ART?" Tanya Syahida.

"Aku ingin kerja di penerbitan buku."

"Kamu serius? Kuliah kamu kan di pendidikan, apa gak ingin jadi guru?"

Aku dan Maharina menjadi pendengar yang baik untuk saat ini.

"Bahkan aku tak ingin sama sekali menjadi guru."

"Haahaaa" ucap kami bertiga yang tak menyangka dengan perkataan Irfiana.

"Kamu salah jurusan ya?" Kini Maharina angkat bicara. "Kamu ada temannya kok tenang aja, aku juga gak ada bakat dan minat untuk jadi pendidik."

Aku dan Syahida tercengang mendengarnya.

"Aku lebih suka berbisnis." Sambung Maharina

"Aku suka dipaksa sama Mama untuk menjadi guru, padahal aku juga tak berminat." Kini mereka bertiga menatapku tajam.

"Kalian tahu apa yang tertulis di papanku saat ospek Maba di kampus kita?" Mereka menggelengkan kepala. Karena kita belum kenal saat ospek dan baru kenal setelah berada di dalam satu kelas yang sama.

"Jadi di kolom cita-cita aku menulisnya 'PENULIS NOVEL'..." Aku terdiam dan ingin tahu reaksi teman-temanku.

"Saat yang lainnya menulis guru atau profesi apalah? Aku mendapat sindiran dari teman sekamar kost."

"Terus sekarang?"

"Mimpiku masih sama sampai aku menemukan titik kejenuhan di situ aku tak akan berhenti..dan sepertinya aku belum menemukan titik jenuh malah sekarang semakin menggebu-gebu..."

"Aku bisa gila tanpa menulis, kalau aku tidak menulis aku bagaikan mayat hidup. Hidupku seperti tak berguna."

"Kenapa dulu gak kuliah bahasa dan sastra?"

"Di kota kita belum ada, jaman dulu aku tidak mendapat ijin dari papa untuk kuliah di luar kota...."

"Bahkan sampai sekarang tentang hobiku ini masih saja dapat perlawanan. Tak ada dukungan sama sekali dari Mama apalagi Papa yang tak pernah mengurusku."

"Saat yang lain rame-ramenya ngomongin pernikahan justru aku ingin menikah dengan satu novel buatanku sendiri yang sudah sah terbit di penerbitan terkenal." Sambungku. Mereka bertiga seperti sedang mendengarkan siaran radio, diam dan hikmat mendengarkan curcolku.

"Bagaikan cebol merindukan bulan. Ingin rasanya memeluk gunung tapi apalah dayaku tanganku pun tak sampai. Mustahil bagiku untuk bisa mewujudkan mimpiku."

"Kenapa mustahil? di dunia ini tidak ada kata mustahil, semuanya bisa kita lakukan asal kita mau..." kata Syahida.

"Aku tak punya nyali, terkadang Mamaku saja yang harusnya mendukungku malah menciutkan nyali ku dengan meremehkannya. Sakit gak saat Mama kita membanggakan anak orang lain dari pada anaknya sendiri? Padahal kita punya kelebihan yang patut untuk dibanggakan, tapi tidak Mamaku tak pernah melihat itu." Kini air di pelupuk mataku sudah menggenang.

"Dikiranya aku tak bisa apa-apa dan apa-apa harus disetir olehnya. Aku bukan boneka yang gak bisa ngapa-ngapain. Apa iya aku sebodoh itu? Hanya karena aku diam dan tak banyak bicara...anak-anak yang dibanggakan Mamaku itu aku yakin mereka cuma modal berbicara yang sok sip. Sungguh aku muak dengan semua itu!!"

"Sabar ya say, kesabaran akan berbuah manis. Kamu hanya perlu buktikan kalau kamu mampu membuat ibumu bangga." Maharina memeluk pundakku.

"Masalah keberanian, kamu perlu dipaksa! Dan kita akan sepenuhnya ada di belakangmu siap mendukungmu! Jangan takut! Kalau takut panggil namaku tiga kali!!" Ucap Syahida.

"Oiya kalian gak ingin berbisnis kafe gitu seperti yang lagi marak saat ini??" Sambung Syahida.

"Pengen, kafe islami terus di dalamnya ada perpustakaan mini..." sahut Irfiana

"Tapi modalnya besar..."

"Hmmmm" kami menghela napas panjang dan mengeluarkan secara perlahan-lahan.

Beginilah dunia kita indah dan kita bahagia tak melulu membicarakan soal pasangan hidup. Bercerita bersama sahabat-sahabat kita itu bisa membuat kita bahagia, sejenak kita singkirkan masalah pria yang terkadang membuat cengeng dan hati rapuh.

_____________________

Yakinlah kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tanpa harus pacaran lama-lama yang belum tentu akan menikah dengannya!!

Buat hidup lebih bermakna, singlelillah!!

Jalan Singlelillah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang