Menentukan Kebahagiaan

76 4 0
                                    

Rifka pov

Aku memang tak sebaik mereka. Tapi aku bersyukur yaa Allah Kau berikan sahabat yang baik yang selalu mengingatkanku kepada akhirat.

"Kenape melamun Rif?" Farchana menghampiri ku.

Aku menggelengkan kepala.

"Rif kalau ada masalah cerita jangan ditahan!"

"Enak kamu ya gak pernah galau..." kataku

"Ehhh...." Farchana terlihat bingung dengan pernyataanku.

"Aku galau terus nih.."

"Galau masalah apa?"

"Gini yaa aku kan dah lama pacaran tapi gak nikah-nikah.."

"Entar kalau sudah waktunya juga bakal nikah...terus kamu merasa pacar kamu bikin hidupmu gak tenang gitu?"

"Ya gak gitu, aku ngelihat kamu seperti tak ada beban tanpa pria.."

"Itu kan kata kamu, kebahagiaan seseorang itu tergantung Rif. Adakalanya orang tersebut bahagia dengan pasangannya adakalanya orang tersebut bahagia dengan sendiri..seperti halnya urusan menikah, setelah lulus kuliah langsung menikah its Ok, mau berkarir dulu juga gak masalah. Semua orang berhak nentuin kebahagiaannya sendiri."

"Terkadang aku merasa tak enak, kita sahabat singlelillah tapi aku mutusin untuk pacaran.."

Farchana menyeruput jus apelnya.

"Semua orang berhak nentuin kebahagiaannya sendiri termasuk kamu, oke kita teman tapi kita gak bisa maksain kebahagiaan teman kita. Ya gak? Lagian aku percaya kok kalau pacarannya kamu itu untuk masa depan bukan untuk sekedar mainan dan aku percaya kalau sahabat aku ini paham betul dengan syariat agama, apalagi pacarnya santri terajin di ponpesnya...."

"Makasih ya Khan?"

Farchana hanya mengangguk.

"Kamu sendiri gimana? Sudah ada pandangan belum?"

"Sedari tadi aku juga memandang..hehehehe"

"Tuh kan nylimurr..."

"Nylimurr itu apa?"

"Melenceng dari fokus pembicaraan..."

Farchana hanya ber-ow ria

"Gak tahu ni, kenapa aku beda dengan perempuan-perempuan lainnya? Mereka dengan mudah menarik perhatian laki-laki, sedangkan aku satupun tak ada yang mendekat.."

"Kok kamu ngomong gitu?"

"Apa iya penampilan mempengaruhi?"

Aku terdiam begitu juga dengan Farchana yang tampak memikirkan sesuatu. Aku ingin bicara padanya tanpa menyakiti hatinya.

"Penampilan yang seperti apa yang kamu maksud?"

"Ya seperti perempuan-perempuan masa kini yang modis, ngetren, gaul....."

"Tapi modus? Modal dusta gitu?" Sahutku.

Farchana menatapku.

"Tapi yang seperti itu banyak yang deketin, laki-laki pada naksir..."

"Neraka sob neraka yang kek gitu!!! Na'udzubillah..."

"Aku bicara kenyataan, kenyataan yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika Mamaku nantangin untuk mengenalkan satu pria kepadanya istilahnya pacarlah gitu..."

"Terus kamu gimana?" Aku menatapnya lebih serius.

"Yaa aku bilang aku gak ada pacar eh malah dijawab akunya gak laku malah disuruh dandan lah ini lah itu lah, rempong!"

"Ini kembali kepada pernyataanmu di awal tadi, tentang kebahagiaan."

"Iya kebahagiaan itu tergantung... dan aku bahagia dengan diriku ini, jadi apa adanya gak peduli mau laku duluan atau akhiran toh jodoh juga sudah ada yang ngatur...."

Aku percaya bahwa dengan sahabat lah kita bisa saling mencurahkan apa yang menjadi beban dalam hidup, tapi yang paling utama adalah mengadukan segalanya kepada sang pemberi hidup yang mengatur segalanya.

"Di dalam kesendirianku terkadang aku juga butuh seseorang untuk sandaran tapi apa daya aku belum dipercaya untuk bisa bersanding dengan seseorang lawan jenis." Ucap Farchana lalu menghabiskan jus apelnya.

"Semua akan indah pada waktunya, kita hanya bisa bersabar dan percaya bahwa ketentuan-Nya lebih indah dari yang kita bayangkan.."

Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Surah Al-'Asr

Jalan Singlelillah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang