Hati Yang Mati

55 8 11
                                    



Hati Yang Mati

Oleh: Sri Eka Warnita Meuraxa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oleh: Sri Eka Warnita Meuraxa

Hidup manusia itu selalu diberikan kebahagian, cinta, kasih dan sayang. Allah juga memberikan harta, tahta, dan semua keinginan hambah-Nya. Hanya terkadang manusia terlalu sombong, kikir, dan rela menutup hatinya demi kebahagian di dunia. Mungkin tidak semua manusia seperti itu, tapi kebanyakan manusia lupa siapa dirinya, lupa dari mana dia diciptakan, lupa siapa yang menciptakan, dan lupa apa tujuan hidupnya diciptakan. Memang manusia tidak sempurna, tapi apa wajar kita merelakan hidup ini berleha-leha. Memburu kebahagiaan dunia, tapi lupa memburu kebahagian akhirat. Buta hatinya sudah.

"Halah...ini radio bising kali pun, macam betul kali ucapannya. Hahah...kalau tidak sombong dan kikir di dunia. Kapan kayanya? Itu penceramah sepertinya terlalu munafik." sahut Bu Krinsa dari dalam kamarnya.

Kemarahannya ketika mendengar dakwah ustadz Hamjah dari radio itu membangkitkan amarahnya yang selama ini terlelap tidur. Buk krinsa selalu mempermasalhkan apapunn yang tidak cocok di hatinya, lalu mengumbarnya ke sana dan ke sini. Pernah juga Bu Krinsa mendapat gunjingan dari para tetangga yang kaya-kaya itu.

Mereka berkata "halah...halah,buk Krinsa. Jangan sombong gitu kenapa? dan itu mulut jangan berlebihan gitu donk. Mulutmu terlalu pahit untuk dirasakan. Kami tau ibu orang yang miskin ilmu dan harta. Makanya loe jangan belagu gitu. Iyakan ibu-ibu."

"Iya...miskin aja udah belagak sombong, bagaimana sudah kaya? Pasti tingkat dewa kesombongannya. Bisa-bisa kita ngak dianggap ada di dunia ini." Ejekan-ejekan terlempar kepada Buk Krinsa, sebenarnya itu merupakan cambukan untuk dia agar segera sadar dari keangkuhannya.

Tapi seperinya hati buk Krinsa tidak akan terbuka hanya karena gunjingan tetangga. Sebab hati buk Krinsa telah mati.

"Dewa....Dewa...Dewaaaaaa." Teriak Bu Krinsa hingga memecahkan suasana di luar rumah.

"Ini anak kemana sich. Ngak tahu apa ini uda jam 06.30? Dasar anak durhaka, selalu saja dia membuat saya marah." ucap buk Krinsa jengkel. Suara riuh burung-burung yang hanya kedengaran yang bercanggar pada ranting pepohonan meninjo, membuat suasana semakin ramai.

"Apa sich, bu? Kok dari tadi teriak-teriak aja, kayak katak mintak hujan turun?" ucap Dewa sebal, sebab suara mamaknya telah membangunkan tidur lelapnya.

Bu Krinsa dan anak sulungnya tidak jauh beda sifatnya. Dewa terkenal di sekolah suka berantem dan ibunya terkenal sombong dengan apapun yang dia miliki. Memang tidak sepantasnya kita menyombongkan diri apalagi kepada Allah yang memberikan segalanya kepada kita. Hidup ini adalah titipan. Semua di dunia akhirnya akan mati, sekalipun kita mencoba bersembunyi di sudut manapun.

"Buk Alya, hari ini gua mau cuti nyuci. Badan gua pegal-pegal ni. Loe tau kan kalau badan gua ngak boleh terlalu capek. Ucap Buk Krinsa memasang wajah masam, mau ngak mau buk Alya mengikuti permintaan Buk Krinsa yang tampak memaksa keinginanya. Padahal buk krinsa tampak baik-baik saja, bahkan di wajahnya ngak ada tampak kelelahan sedikitpun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Izinkan Aku MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang