Prolog

50 6 0
                                    

Dito berjalan menuju kantin, bajunya benar-benar tidak rapih, kancing kemejanya tidak dikancing dan menampilkan kaos hitamnya, kemejanya juga tidak dimasukkan kedalam celananya, dan yang paling parah sepatunya berwarna biru, bukan hitam.

Ia berjalan santai, saat di koridor sekolah, Dito bertemu dengan Bu Yati.

"Uh mampus gue" batinnya, dan mencoba berbalik arah. Namun langkahnya terhenti karena Bu Yati memanggilnya.

"Eh, Dito! Sini kamu!" Kata Bu Yati dengan suara khasnya.

"Eh, iya bu", kata Dito memutar arah sambil garuk-garuk kepala.

"Mau ke kantin? Iya?" Bu Yati mengkoreksi Dito, ia melihatnya dari bawah hingga ujung rambut.

Disana Dito nyengir-nyengir karena ia tahu bahwa ia akan dimarahi lagi oleh Bu Yati.

Bu Yati menyadari bahwa Dito menyengir sedaritadi. "Kenapa kamu nyengir-nyengir?"

"Ehm..engga bu"

"Kamu ga denger? Udah bel masuk, ngapain kamu masih disini?" "Ini lagi, baju kamu.." Bu Yati geleng-geleng melihatnya.

"Astaghfirullah, Dito.." Bu Yati tak tahan melihat kelakuan Dito. Ia mengelus-elus kepalanya.

"Eh ibu kenapa? Ibu pusing, bu?" Tanya Dito sok panik

Mata Bu Yati tertuju pada sepatu Dito. Ia memukul kaki Dito dengan penggaris kayu panjang. Lalu Dito merintih.

"Apa-apaan ini, kenapa sepatu kamu biru?" Bu Yati sedikit meninggikan suara.

"Oh, ini ya bu. Iya, ini sepatu saya abis di cuci jadi luntur, jadi biru deh bu, hehe" jawab Dito cengengesan.

"Alesan aja kamu" Bu Yati memukul pantat Dito dengan penggarisnya. Lalu Dito mengaduh dan mengelus-elus pantatnya. "Kaosmu hitam, rambutmu..masyaallah Dito!" Bu Yati geleng-geleng.

"Ikut ibu ke ruang guru", kata Bu Yati dan jalan duluan menuju ruang guru. Namun, Dito disitu masih terdiam, dan Bu Yati masih tetap berjalan. Lalu Dito mengambil kesempatan, ia mencoba jalan menuju kantin, namun Bu Yati mengetahuinya dan menggeret Dito ke ruang guru.

Saat sampai di ruang guru ia disuruh mencatat pelanggarannya di buku panduan sekolah. Lalu salah satu musuhnya masuk ke ruang guru, yaitu guru matematikanya, Pak Hendra. Melihat pantatnya saja sudah membuatnya kesal apa lagi melihat kumisnya yang menawan.

"Kenapa lagi kamu Dit? Ga bosen-bosen nulis gituan mulu", cetus Pak Hendra.

Lalu pak Hendra menghampiri Dito yang berada di meja bu Yati, ia mengoreksinya, dan tersenyum miring, ia geleng-geleng.

"Kaosmu hitam, sepatu berwarna", ia memperhatikannya, lalu ia tertuju pada rambut Dito, lalu ia memegang jambul Dito. "Rambutmu panjang, Dit. Bapak potong ya", kata pak Hendra sambi memainkan jambul Dito.

"Eh jangan dong pak. Ini sumber ketampanan saya", kata Dito.

Lalu pak Hendra mengambil gunting di mejanya dan berjalan menuju Dito. Pak Hendra mencoba untuk memotong jambul Dito tapi Dito berusaha menghalangnya.

"Yah, yah pak, jangan dong, jangan dong pak, yah ga lucu banget" Dito berusaha menghalangnya.

"Sudah gapapa. Habis ini kamu langsung ganteng" kata pak Hendra.

Lalu seorang gadis memasuki ruang guru sambil membawa tumpukan buku di tangannya. Dito pun melihatnya.

"Tuh,tuh pak, yah, ada cewek tuh pak, yah parah, nanti kalo dia ngeliat saya botak gimana", Dito mencoba menghindar.

"Ah lebay kamu, dia juga ogah ngeliatin kamu." Akhirnya pak Hendra berhasil memotong jambul Dito, rambutnya berhasil setengah botak.

"Yawlo pak, bapak parah banget, jahat banget bapak", ia melihat rambutnya yang terpotong, "yawlo pak, sedih banget saya, pesona saya ilang 85% dah"

"Udah kamu ga usah lebay, besok rambutmu dirapihin di pangkas rambut" ujar pak Hendra lalu menyuruh Dito keluar dari ruangan itu.

Dito jalan keluar dan melewati gadis di depan pintu itu, ia melihat kearahnya. "Gua masih ganteng ga?" Tanyanya cetus kepada gadis tersebut, dan ia hanya terkekeh mendengar pertanyaan itu.

***

1001 Cara DitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang