My Though Your Memories
Pernahkah kau merasakan saat duniamu tak lagi berarti? Saat kau merasa waktu telah mengkhianatimu, bahkan setelah kau tahu bahwa waktu tak pernah salah. Waktu selalu berputar, dan kau masih berdiri menatap kebelakang, tenggel...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
By : lianacho
Pintu pagar itu berderak. Sosoknya yang melangkah gontai hilang di balik pintu. Detik berikutnya kegaduhan itu di mulai. Barang-barang yang pecah, benturan keras antara kulit manusia, bercak darah di sudut bibir – semua dapat kupastikan. Di sini, di sudut kamar ini— aku menjadi saksi kekejaman dunia pada dirinya. Di sini, di balik jendela kamar ini –aku hanya dapat menatap nanar wajah yang penuh memar itu meringis menahan perih. Hatiku sesak melihatnya. Napasku terenggut, seakan-akan turut mengambil bagian dari deritanya.
Dia Cho Kyuhyun. Teman karibku sejak kecil. Kami bertetangga. Rumah kami berseberangan. Aku melihat bagaimana ia tumbuh dan menjalani hidupnya hingga kini. Kyuhyun hidup dalam dunia yang keras sepeninggalan ibunya. Kejam dan menyiksa. Tanpa mengenal kata lelah dan belas kasih, Kyuhyun menjadi objek kekesalan ayahnya. Tubuh jangkungnya penuh bekas luka. Lebam berada dimana-mana. Entah di wajah ataupun di tangan. Itu terjadi tak sekali waktu. Nyaris setiap malam– ketika ayahnya pulang dengan kekalahan di meja judi.
~¤♡¤~
Mentari pagi bersinar semburat penuh. Menyingkirkan cahaya keemasan yang semula lalu terbias di antara awan-awan kelabu. Angin berdesir membawa wangi tanah basah bercampur embun. Menerpa kulit wajahku dan Kyuhyun. Deru keramaian pagi terpantul oleh gemerisik dahan serta suara ranting yang bergoyang. Aku melangkah di sampingnya yang kini menuntun sepeda gayung.
"Kau mungkin akan tertawa jika aku menanyakan keadaanmu. Kuharap semua baik-baik saja."
Kyuhyun mengulas senyum tipis, nyaris tak terlihat. Namun tetap hangat di bawah sinar mentari.
Seharusnya sudut bibirku tertarik membalasnya. Namun tubuhku kelu, hanya ingin merengkuhnya dari sisi hatiku.
"Ini hanya luka kecil. Aku akan baik-baik saja Joo." Kyuhyun menyeka sudut bibirnya. Mengerling nakal, mencoba menggodaku. Mata teduhnya seolah berkata padaku bahwa tiada hal yang harus kucemaskan tentangnya. Kemudian, tangannya yang bebas menepuk puncak kepalaku. Dia memang seorang pembohong besar. Dia selalu bisa menutupi perasaannya rapat-rapat. Dari caranya memperlakukanku, aku menyadari, di balik sikap dinginnya, dia adalah orang yang berhati lembut.
"Kita bisa terlambat jika berdiam diri seperti ini. Kajja!."
Menatap punggungnya yang ia tawarkan padaku, menuntunku duduk di belakangnya sembari memeluk pinggangnya erat. Jalan terjal membawa angin berhembus kencang menerpa wajahku. Punggungnya terlihat kokoh dari luar. Namun ketika menatapnya lekat— tangan ini pun tak akan sanggup menyentuhnya. Begitu rapuh.
"Daripada menyakiti dirinya sendiri, aku lebih rela jika dia memukulku." Getar jiwaku membawa rasa sesak di dada. Aku menggeleng kuat. Kata-kata itu terngiang lagi. Membuatku terdiam dalam hancurnya perasaan. Dia membiarkan dirinya terluka untuk keselamatan sang ayah. Aku tak dapat membantah alasannya. Namun aku tak kuasa melihatnya terus menerus menanggung luka.