Ego

416 17 2
                                    

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihat betapa absurdnya kelakua dua wanita dewasa di hadapanku, Mama dan Zeera.

Di ruang keluarga ini mereka lagi asik karaokean dengan suara super berantakan. Mereka cuma berdua tapi kayak ada dua puluh orang di ruangan ini.

"Mas, nyanyi dong." seru Zeera tiba-tiba saat Mama menyanyikan sebuah lagu yang nggak kutau apa itu judulnya.

"Mas nggak bisa nyanyi, Zee." kataku mencoba memberikan alasan yang sama sekali nggak masuk akal. Aku lagi males nyanyi.

"Please deh, Maaaasss. Kalo mau ngeboong tuh yang pinteran dikit kenapa sih?" Zeera berujar dengan gaya dramatis andalannya.

"Nggak ah. Lagi nggak mood." kali ini kupinjam kata-kata pamungkas Zeera kalo lagi males ngapa-ngapain. Anak itu kan demen banget ngejadiin mood-nya yang labil itu sebagai alesan. Dan yang paling nyebelin adalah kita semua selalu mengiyakan aja kalo dia lagi begitu.

Yah, Zeera kalau udah ngambek nyeremin sih. Dia kelewat manja karna ngerasa anak perempuan satu-satunya.

"Maaaaass, ayo dong. Satu laguuuu aja, ya, ya, ya?" rengeknya maksa.

Aku menghela napasku. Makhluk yang paling kubenci adalah diriku sendiri yang nggak pernah bisa nolak permintaan adik perempuanku satu-satunya itu.

"Oke." Akhirnya kuberi persetujuanku.

Zeera terlihat sumringah. Lalu bertanya padaku, lagu apa yang mau kunyanyikan.

"Tak Ingin Sendiri yang lagunya Dian Piecesa itu aja deh, Zee."

"Jeeee, lagu apaan itu? Yang laen aja, ah." tolaknya saat kusebutkan sebuah judul lagu lawas.

"Lah, kenapa? Nggak ada?"

"Bukan nggak ada, Mas. Tapi please deh, itu lagu kapan tau. Jamannya Mama masih muda itu mah. Yang laen, masa kalah tuh sama Mama yang milih lagu ngehits sekarang-sekarang ini."

Aku mendengus lalu memutar bola mataku.

"Zee, kan Mas yang mau nyanyi. Kok kamu protes gitu?"

"Ya tapi Zeera yang dengerin juga kali, Mas. Jangan kayak Mas Adnan deh yang hobi bener lagu-lagu lawas model begitu." Zeera tampak berapi-api jelas banget kalo adikku ini nggak suka sama apa yang jadi favorit calon suaminya.

Aku terkekeh mendengarkan penuturannya. Kukira keluhannya nggak akan berlanjut, tapi tarikan napasnya dan wajahnya yang bersungut-sungut adalah tanda pasti kalau dia akan melanjutkan omelannya.

"Dia itu suka sama apa yang nggak aku suka," sambungnya. "Sering banget deh kita debat gegara masalah kesukaan."

Nah kan, begitulah Zeera, tanpa sadar dia udah memulai sesi curhatnya sendiri tanpa perlu persetujuanku sebagai pendengar setia curhatannya.

"Kayaknya sih, Zee," aku berdeham. "Menurut Mas, kamu deh yang nggak terimaan. Kamu kan egois, demi kepentinganmu, kamu selalu maksa orang buat sejalan sama kamu. Dan sayangnya, Adnan itu nggak tau terlalu sayang sama kamu apa nggak mau cari ribut, dia jadi iyahin aja. Tapi terkadang, sebagai lelaki dia butuh untuk mempertahankan harga dirinya, jadilah kalian ribut--"

"Bentar..." Zeera menghentikan ucapanku dengan tangan terentang di depan mukaku. "Mas itu mau ngomong apa sih?"

Aku nyengir melihat tampang sebalnya. Zeera paling ogah kalo aku ngasih semacem wejangan, tapi dia itu tanggap orangnya. Dia ngerti sama apa yang mau aku omong.

"Kalo kamu masih mau egois kayak gitu, mending nggak usah nikah. Karna di dalam sebuah pernikahan dibutuhkan rasa toleransi yang tinggi terhadap pasangan. Kamu harus bisa menghargai apapun itu pendapatnya. Jangan suka memaksakan kehendakmu sendiri. Kamu akan membentuk sebuah keluarga, kerendahan hati akan membuat kalian berjalan beriringan."

Zeera mengangguk-anggukan kepalanya, terlihat aneh sekaligus menggelikan karena matanya yang membesar, namun terlihat kosong. Seperti tengah menyerap informasi yang diterima. Dan aku nggak tahan untuk nggak menggerakan tanganku mengacak-acak rambutnya. Dia dia mendelik nggak suka, tapi aku malah meledeknya dengan cengiran lebar.

"Nikah sana, pemahamanmu udah mendalam gitu terhadap pernikahan. Jangan cuma berteori, udah saatnya kamu praktek. Kasih Mama cucu." celetuk Mama tiba-tiba masih dengan mic yang menempel di bibirnya.

Setelahnya suara tawa Zeera meledak. Seperti mendapat pembalasan nggak terduga baginya. Ah, sial. Bisa kurasakan mukaku memanas. Aku malu. Akhirnya kuputuskan untuk berlari ke kamar dan membatalkan acara karaoke itu.

Nikah masih jadi PR yang belum bisa kuselesaikan sampai sekarang. Diusiaku yang ketigapuluh tahun ini. Miris dan ironis. Hah...

Kalau saja... kalau saja aku nggak melakukan kesalahan dengan mencintai orang yang seharusnya nggak kucintai.

Hatiku berjengit, mengucap nama-Nya dalam perih yang menyiksa.

Ya Robb...

AlzeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang