Komitmen

1.7K 79 3
                                    

"Kenapa sih ngeliatinnya kayak gitu?" tanya Mas Alfin dengan kening berkerut. Keliatan banget risih aku pelototin dari tadi. Kuangkat bahuku santai.

"Nggak apa-apa kok. Cuma penasaran aja," Kataku cuek lalu bergeser semakin merapat pada Mas Alfin.

"Penasaran?" ujarnya dengan gaya sok nggak peduli dengan mata lurus tertuju pada layar TV dan tangan khusyuk mencet-mencet tombol remot.

"Penasaran, kenapa Mas udah tua belom nikah juga. Mas, nggak laku, ya?"

Dengan kecepatan super kilat, Mas Alfin membanting kepalanya menghadapku.

"Enak aja kalo ngomong." Ditoyornya kepalaku dengan kekuatan penuh hingga kepalaku

"Jeeee, biasa dong," sungutku nggak terima, "Zee, cuma nanya kali, Mas. Mas itu kurang apa lagi coba?"--kulirik ia dengan tatapan menilai--"Mas cakep, udah mapan, juga lurus dalam agama. Trus kenapa gitu belom nikah? Kalah sama Mas Revan, aku juga bentar lagi nikah. Apalagi masalahnya kalo bukan karna Mas nggak laku?"

Mas Alfin mendengus keras, "kamu pikir, Mas itu barang dagangan gitu? Laku nggak laku? Udah barang dagangan, iya kalo di toko yang ada di deptstore, kalo di kaki lima?"

Aku cuma bisa nyengir-nyengir kuda tiap nada bicaranya naik satu oktaf.

"Heh, anak kecil," didorongnya keningku dengan dua jarinya yang panjang. "Nikah bukan perkara mudah. Tapi, kalo urusan nikah kamu sama Adnan sih emang jadi mudah. Orang yang mau nikahin dan dinikahin iya-iya aja."

"Dihh, kok jadi bahas Zeera sama Mas Adnan, sih?" raungku nggak terima.

"Yaiyalah, kamu yang lagi mau nikah. Mas, kan nggak. Revan mah udah sukses juga sama pernikahannya, jadi ngapain juga coba dikomentarin. Ya kamulah, kamu 'kan bakal jadi Newbie."

Kenapa si bujang lapuk satu ini jadi ngomentarin aku? Bukannya dia yang lagi aku interogasi perihal kelajangannya dan betahnya dia menyadang status bujang lapuk?

"Mas tuh, nggak bisa deh nggak ngeledek, Zeera. Nggak bisa kalo usil sama apa yang aku lakuin."

"Mas bukannya usil. Mas cuma ngebilangin, kamunya aja yang ngeyek kalo dibilangin."

"Aku nggak ngeyek, tapi Mas yang menye!"

Akhirnya aku dan dia sama-sama pasang tampang galak dan siap menerkam kalau saja salah satu di antara kami melanjutkan konfrontasi ini. Tapi, aku ogah kalau harus disuruh melembut duluan.

Dan akhirnya Mas Alfin yang mengalah, dia menghela napasnya, lalu mematikan TV. Dia menatap lurus ke arahku, jantungku mulai dagdigdug pas dia pasang tampang serius dan melihat langsung ke mataku.

Aku tak suka dengan cara pandangnya, caranya melihatku seperti dia dapat menembus isi kepalaku. Meski memang kenyataannya selalu begitu, dia bukan sekedar hanya bisa membaca, malahan sudah terlalu hapal dengan isi kepalaku.

"Jadi, kali ini kamu gak mau denger omongan, Mas?" tanyanya yang mau tak mau membuatku melongo untuk beberapa saat. Tak tahu harus menjawab apa. "Diam berarti setuju. Mas, anggap kamu mau."

Alfin tetap Alfin, senang membuat kesimpulan sendiri. Dan suka sekali membuatku kesulitan dengan keputusannya.

"Zee," aku mulai berdoa dalam hati, semoga nggak ada hal buruk yang keluar dari mulut nerakanya itu. "Pernikahan bukan cuma sebatas adanya dua orang saling mencintai, lalu memutuskan untuk hidup bersama. Pernikahan lebih dari itu. Ada banyak komitmen yang akhirnya akan membawa kamu kesana. Dan saat ini, Mas belum bisa berkomitmen sama siapapun.

"Mas juga belum menemukan sosok perempuan yang pas. Mas, ini laki-laki, Zee. Umur nggak akan jadi masalah. Ada baiknya Mas memikirkan segalanya masak-masak, biar nggak nyesel nantinya. Jadi, yang seharusnya perlu kamu pikirin bukan Mas. Tapi, diri kamu sendiri.

"Nikah itu bukan mainan, bukan untuk satu-dua hari, tapi --kalo bisa-- untuk seumur hidupmu, selamanya. Mas, juga bilang kok ke Ayah sama Mama, Mas sangat menyayangkan keputusanmu untuk nikah muda."

Keningku berkerut.

"Kenapa?"

"Zeera, kamu masih muda. Masih ada banyak dunia di luar sana yang harus kamu kenal sebelum memutuskan untuk mejatuhkan pilihan dan terikat pada satu laki-laki untuk seumur hidupmu."

"Bukannya, lebih cepat lebih baik? Ini ibadah lho, Mas"

Mas Alfin tersenyum.

"Mas, ngerti. Tapi ibadah yang dilakukan tanpa adanya persiapan yang matang bakal merusak ibadah itu sendiri dong, Zee. Nggak bedanya kalo kamu mau pergi piknik, tapi kurang persiapan, bakal repot nantinya."

"Tapi Mas..."

Dia menghentikanku untuk protes, dengan gayanya yang sok kebapakan, menepuk-nepuk kepalaku.

"Udah, ini bahan pertimbangan kamu aja. Adnan laki-laki yang baik kok. Mas, yakin dia sanggup membangun sebuah rumah tangga yang sesuai syariah. Tinggal kamunya, Zee. Kira-kira siap nggak menjadi partner yang solid buat Adnan?

"Karna, dirumah tanggamu nantinya nggak cuma ada cerita bahagia, tapi ada dukanya. Nggak jarang ada gelombang badai yang menerjang. Karna kehidupan ada pasang surutnya, sama dengan hati manusi yang mudah terserang rasa jenuh. Inget, Zee, laki-laki yang sukses dan hebat itu, selalu ada peran seorang perempuan yang mendukungnya dari belakang."

---

Ini bukan cerita, hanya sebuah draft yang saya kembangkan dari pemikiran saya. semoga bermanfaat :)

AlzeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang