Chapter 2

4.3K 253 3
                                    


Jam weakerku berdering. Aku tergagap ketika jam menunjukan pukul 6 pagi dan aku baru terbangun. Entah sudah berapa lama dia berdering dan aku tidak bergeming. Astaga Christ akan berada di sini satu jam lagi. Aku segera mandi dan mengenakan gaunku dengan susah payah. Gaun berwarna peach dengan potongan dada yang cukup rendah. Oh Andrea paling bisa membuatku terlihat malu pada diriku sendiri. Dadaku terlalu kecil untuk gaun ini sepertinya. Pintu di ketuk dan aku yakin itu Christ.

“Oh No.” Aku belum merapikan rambutku dan aku tidak punya ide untuk rambut bandelku. Aku berlari ke pintu dan melihat dia berdiri dengan setelan kemeja putih yang rapi dengan kancing atas terbuka dan celana bahan berwarna hitam, dengan sepatu senada. Menenteng jasnya juga sebuah dasi kurasa.

“Belum siap?” bibirnya tertarik menjadi hanya sebuah garis.

“seperti yang kau lihat.” Aku membiarkannya melangkah masuk. Lalu menutup pintu di belakangnya.

“Mau minum?” aku mlangkah mendekatinya. Dan dia menggeleng. Lalu aku kembali ke kamar. Segera menyisir rambutku, menariknya ke atas dan menggulungnya. Menyelipkan sebuah karet berwarna hitam. Membuat sanggul sederhana. Menarik sedikit rambut depan ke arah samping membentuk poni. Lalu menyematkan hiasan rambut yang di berikan Andrea. Terlihat manis.

Aku memulaskan alas bedak, lalu bedak, menyapukan maskara di bulumataku. Aku bersyukur karena alisku tak perlu di bentuk lagi. Aku punya alis yang cukup indah untuk aku banggakan. Lalu aku memulaskan lisptick berwarna senada dengan gaunku. Dan sedikit perona pipi. Dan sempurna. Setidaknya cukup baik.

“Hufft” aku menghela nafas dalam lalu keluar mencari Christ.
Dia tampak sedang berdiri mengenakan dasinya. Aku melihatnya lekat-lekat karena dia tidak sedang memperhatikanku. Lalu entah bagaimana sepertinya dia menyadari kehadiranku. Dengan keberanian yang tiba-tiba datang padaku seperti sebuah keajaiban aku mendekatinya, mendongak menatapnya. Mata kami terkunci satu sama lain untuk beberapa detik. Kemudian aku mengambil alih juntaian dasi dari tangannya dan dengan gerakan yang anggun mengikatnya. Matanya tak beralih dari wajahku. Dan saat aku menyelesaikan tarikan terakhir dia tersenyum.

“Sepertinya aku akan membutuhkannya lebih sering.” Apa? Dia senang aku mengikat dasinya? Dalam diriku berjingkrak gembira.

“apa?” suaraku pelan hampir tak terdengar.

“bantuan mengikat dasi.” Dia tersenyum, meraih beberapa helai rambutku yang lolos lalu menyelipkannya di belakang telingaku. Aku tersipu, rasanya pipiku merona.

“ready?” dia bertanya.

“yup.”aku mengangguk.

Dia memakai jasnya. Tampak begitu gagah. Dan aku seperti sebuah icecream vanila yang terkena sinar matahari. Melted. Ya aku meleleh menatapnya.
Dia tersenyum menggoda, dan sejurus kemudian  menyodorkan sikunya, ragu-ragu tapi aku akhirnya melilitkan tanganku di lengannya yang kokoh. Karena kami begitu dekat aku bisa menikmati aroma tubuhnya bercampur aroma parfume, dia terasa bersih dan begitu segar.

“kau yakin dengan riasanmu?”pertanyaan itu membuat semangatku merosot ke titik nol. Titik terendah, merasa jelek. Oh aku benci diriku sendiri.

“Apa ini terlihat kacau?”aku menunduk.

“Aku tau di mana kita bisa sedikit merapikannya. “ dia menekankan kata

“sedikit”. Seperti tidak ingin melukai harga diriku. Tapi aku sudah terlanjur terluka. Ya setiap kali seseorang menilai penampilanku, kepercayaan diriku seolah terjun bebas dari atas tebing, membentur batu-batuan, hancur berkeping-keping dan hanyut terbawa aliran air. Lenyap.

“Kita masih punya waktu sekitar 2 jam utuk acara itu. Acaranya akan di mulai pukul 9.”aku bahkan tak tau acara itu di mulai jam berapa. Oh apakah aku terlihat kacau? Kepercayaan diriku sirna sudah. Aku pasrah dan mengikuti langkah Christ. Hanya ingin bersembunyi dari tatapannya.

Clara & Christ #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang