2 | Pertama

3.5K 393 17
                                    

Gue berkali-kali mencoba nurunin terusan gue yang super pendek. Slip Dress hitam yang bahkan nggak pernah gue pakai setelah dua tahun teronggok di lemari. Malam ini Septian ngajak gue ke salah satu club elit di daerah Pusat. Jantung gue deg-degan dari awal pamit ke nyokap. Alasan yang gue kasih, gue mau ke acara ulang tahun temen. Nyokap sih percaya-percaya aja. Acara ulang tahun jam 10 malem, kalau bukan di club, di mana lagi? Gue terus berucap maaf dalam hati ke nyokap gue. Ma, maafin teteh ya yang nakal gini.

Gue berjalan mengekori Septian. Dia daritadi selalu bertukar sapa dengan berbagai orang. Cowok ini emang udah kayak gigolo, kalau lagi suntuk, dia cari penghiburan di tempat macem ini. Jadi nggak heran kalau banyak yang kenal dia.

"Lo mau minum apa, Lay?" tanya Septian ketika kami sudah sampai di bar.

Gue melongo. Apa ya? Gue juga kan nggak tau banyak macam-macam minuman alkohol, kecuali wine, vodka, whiskey, bir, tequila, dan cocktail. Itu udah banyak belum, sih?

"Bir aja deh, Sep," jawab gue akhirnya. Septian mengangguk lalu memesankannya kepada cowok di balik meja bar. Selagi menunggu minuman siap, Septian mengobrol dengan bartender itu dengan antusias.

"Nih." Septian menyodorkan gelas besar berisi air berwarna kuning ke gue.

"Lo udah pernah nyoba sebelumnya?" tanya Septian.

Gue mengangguk. "Kalau bir, sih, gue udah pernah."

"Okelah." Septian mengangguk-angguk. "Nih, ya, Lay. Gue kasih tau ke elo. Tuh, di ujung sana yang banyak cewek beningnya itu, liat nggak?" Septian menunjuk ke arah segerombol cewek-cewek modis dan ada beberapa cowok-cowok kece yang sedang menikmati malam. Lantas gue mengangguk.

"Nah, di sana banyak anak-anak konglomerat sama eksmud-eksmud. Kalau lo mau having fun, ke sana aja," Septian meminum vodkanya, "dan kalau lo mau ons, di sana itu gue yakin pada 'bersih-bersih', jadi lo gak perlu kuatir."

Gue mengangguk mengerti. "Gue nggak mau malam ini sekaligus, Sep."

Septian mengerutkan dahinya.

"Gue mau malem ini poin ke 1 dan 2 dulu yang gue laksanain," jelas gue. Septian mengangguk mengerti.

"Oke, nikmatin aja dulu."

***

Kepala gue berdenyut-denyut kurang ajar, sakit banget, kayak gue telat makan terus ditambah kerjaan numpuk, cuman ini versi lebih parahnya. Gue benar-benar melaksanakan hal yang nggak berfaedah sama sekali, dan itu pertama kalinya sejak gue hidup di dunia ini. Rasanya kayak Roller-Coaster, gue senang akhirnya bisa keluar dengan ekstrim dari batas nyaman gue sekaligus bersalah karena gue sadar ini dosa.

Gue nggak beranjak dari kasur. Gue juga nggak mikirin ini di mana. Paling gue di bawa Septian ke apartemennya. Gue yakin betul karena mencium aroma-aroma Septian di sini.

Gue mengerang, serangan sakit kepala pasca mabok-mabokan memang sakit banget, kayak yang Septian bilang ke gue.

"Udah bangun, Lay?"

Gue mengarahkan kepala gue ke asal suara. Dan di sana ada Septian yang udah segar dengan nampan di tangannya.

"Nih, makan dulu terus diminum obatnya." Septian berjalan ke arah gue dan menaruh nampan itu di meja kopi dekat kasur.

"Lo bisa bangun, nggak?" tanya Septian.

Gue masih diam, menatap ke arah langit-langit kamar Septian yang berwarna putih.

"Lo nggak apa-apain gue, 'kan?" tanya gue kemudian.

Septian terbahak. "Gue apain lo? Nggak lah gue nggak macem-macem walaupun udah napsu liatin susu lo yang nggak pake beha."

Gue langsung mengambil bantal dan melemparnya ke arah Septian. Sayang bantal itu nggak kena mukanya yang bopeng, dan langsung ditangkap olehnya.

"Gue nggak ngapa-ngapain lo, Lay. Tenang aja, gue masih waras kok."

Gue mendelik ke arahnya dan Septian terbahak lagi. "Maksud lo?"

"Udahlah, itu nanti aja. Sekarang lo makan dulu terus bersih-bersih."

Gue menurut, dan Septian keluar meninggalkan gue sendirian.

***

"Tinggal 8 lagi," kata Septian saat gue memasuki ruang tamunya.

"Gue masih mikir-mikir Sep untuk yang sisanya." Gue meminum air yang disodorkan Septian padaku. "Gue masih menimbang. Menurut lo, worth it nggak gue lepas perawan sama cowok asing?"

Septian memandang gue lamat-lamat. "Kalau dibilang worth it atau enggak, jelas gue bilang enggak. Gini ya, Lay. Sebangsat-bangsatnya gue, gue nggak nyaranin lo buat lakuin hal itu."

Gue mendesah. Septian dan Gendis sama-sama bilang begitu. Hati gue juga sebenarnya masih nggak yakin. Kayak gue berani aja ena-ena bareng cowok nggak jelas. Kalau nasib gue kayak Gendis sih, it's okay. Seenggaknya gue nggak perlu jelasin lagi, siapa yang merawanin gue.

"Lo coba make out dulu aja, Lay. biar tau rasanya, lo ciuman aja nggak pernah, 'kan?"

Gue langsung melempar bantal sofa ke arahnya. Kali ini langsung kena muka bopengnya. Sukurin!

Septian terbahak. "Ngaku aja deh, lo semuanya masih perawan, 'kan?"

Gue mendelik. "Ngomong sekata-kata lo, bibir gue udah pernah dicoba kaliii sama si Danu."

Sebenarnya mah, cuma di kecup doang. Itu juga kejadiannya pas baru jadian seminggu. Habis ngecup gue, dia langsung nyebut. Kalau ada air, langsung wudhu kali. Untung waktu itu dia nggak kepikiran buat tayamum.

"Halah, terserah lo, lah." Septian mengambil rokok dan menyulutnya. "Lagian lo kepikiran aja buat bucket list kayak begitu, sih, Lay. Isinya sexual semua lagi."

Gue meringis. "Selama ini gue ada di tengah-tengah, Sep. Antara alim dan nggak alim. Belakangan ini gue jenuh. Yah, anggap aja lah ini salah satu resolusi gue sebelum jadi perawan tua di umur 30 tahun."

Septian mengangguk sambil menghembuskan asap rokoknya. Gue melotot ke arahnya, dari dulu gue nggak suka sama asap rokok. Bikin napas sesak, belum lagi efeknya ke kulit muka gue. Keriput sebelum waktunya kan nggak banget. Mana belum punya laki lagi. Septian yang menyadari reaksi gue langsung meminta maaf dan menjauhkan asapnya dari gue.

"Jadi lo mau gimana? Tetep mau cari ons?" tanyanya.

Gue mengedikkan bahu. "Gue ganti aja kali ya?"

Septian menatap gue lamat-lamat, sebelum dia menjentikan jarinya.

"Kalau lo nggak mau lepas perawan, lo coba sex by other media aja, Lay."

"Apaan tuh?" tanya gue bingung.

"Jadi lo nggak bener-bener having sex sama orang asing. Kayak poin ke berapa tuh, Phone sex, nah itu. Lo juga bisa video sex sama dia. Poin lebihnya, lo bisa nuntasin yang phone sex juga."

Gue bergidik ngeri. Otak gue jadi berputar-putar mendengar penjelasan Septian. Isinya seks semua. Tapi, akhirnya gue tetap bertanya juga bagaimana caranya.

"Nih." Septian menunjukan gue sebuah situs web di hapenya. "Lo bisa pake nama samaran, asal samaran, dan umur samaran. Asal namanya nggak berbau pornografi."
Gue melongo. "Terus?"

Septian berdecak, menunjuk-nunjuk hapenya. "Ya udah lo bisa chat sampe lo kira-kira nemu yang pas!"

Gue manggut-manggut. Konsekuensinya kalau web begini banyak yang yang nggak jelas, mungkin yang benar-benar cocok bagi gue satu banding sepuluh ribu. Nggak mungkin eksmud-eksmud main web beginian. Halah, hidup gue susah amat, sih.

****

Winna's Bucket ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang