1 | Konsultasi

4.1K 453 17
                                    

"Lo gila apa ya, Win?"

Suara Gendis menggema di kamar gue yang berukuran 4x5 meter. Matanya melotot sambil liatin bolak-balik antara gue dan buku jurnal yang ada di tangannya. Gue meringis, iya tau... ini reaksi yang bakal diberikan Gendis saat tahu apa yang gue tulis untuk Bucket-list.

"Lo goblok banget sih, Win! Gue nggak nyangka lo se-desperate ini."
Gue cuman bisa mendengus dan merebahkan diri ke kasur. Gue tahu, kok. Ini memang diluar batas kewajaran. Entah daftar-daftar itu bakal terealisasikan atau nggak.

"Gue cuma mau 'main' sedikit, Ndis," bela gue.

"Tapi nggak begini juga lah, bego!"

"Gue tahu, Ndis. Sedikit doang, kok."

"Sedikit apanya, sih. Gue nggak mau ya lo ilang keperawanan sebelum nikah."

Gue mendelik kearahnya. "Kenapa, sih?" sewot gue.

Wajah Gendis mulai melembut, lalu dia duduk di sebelah gue. "Gue nggak mau lo kayak gue, Win."

Gue menarik napas dalam-dalam. Gue tahu betul bagaimana cerita kehidupan percintaan Gendis. Dia dulu bebas banget, untung aja lakinya bertanggung jawab dengan menikahinya. Karena waktu itu Gendis sudah hamil tujuh minggu.

"Lo dulu yang menentang hubungan nggak sehat gue sama Adam, 'kan?"

Gue mengangguk. Gue walaupun nggak alim-alim banget, tapi gue agak kolot untuk urusan hubungan cowok-cewek. Walaupun gue dan Gendis mempunyai pilihan kami masing-masing, tapi seberusaha mungkin kita bakal mengingatkan jika sudah mulai nggak benar.

"Gue tetep mau ngelaksanain itu." Gue menunjuk buku jurnal gue ditangannya.

Gendis mendesah. "Oke, lo wanita dewasa yang sudah bisa nentuin pilihan lo. Tapi, gue sebagai sahabat lo, gue cuma mau ingetin lo, Win. Gue nggak mau lo nyesel nantinya."

"Ndis, gue waras dan sadar kok dengan keputusan yang gue ambil."
"Ya udah, itu hak lo, Win."  Gendis mendesah lagi. "Lo juga harus siap konsekuensi yang bakal lo terima nantinya."

Gue mengangguk-angguk aja saat mendengar Gendis berceramah. Sejak menikah, Gendis jadi tobat dan mulai mendekatkan diri pada Tuhan. Gue sih nggak masalah selama itu baik buat dia. Tapi, kesini-sini, gue merasa apa yang dialami kami dulu, kini bertukar posisi. Gue dulu kolot banget dengan hubungan Gendis yang mengadaptasi gaya barat. Sekarang dia udah sebelas-dua belas sama ustadzah Okky Setiana Dewi. Dan gue mulai mikir hal yang macem-macem. Ya, semenyedihkan itu hidup gue di akhir umur 20-an.

***

Gue mengetuk-ngetukan jari ke atas meja. Daritadi gue menimbang, apa perlu gue se-ekstrim itu sampai merelakan keperawanan gue diambil orang lain. Gendis si enak, pacaran sama Adam dari jaman jadi maba, sampai khilaf diperawanin, terus dinikahin. Dia bandel-bandel tapi sama laki yang sama.

Rencana gue kan cuman ons doang, gairah semalam, nggak berlanjut lagi. Nanti kalau calon laki gue nanya, 'kenapa kamu gak perawan?', gue harus bilang apa? Masa gue bilang, 'Jadi, aku bikin bucket list, terus ons buat lepasin perawan aku.'

Gue sih masih waras. Nanti yang ada calon laki gue ilfeel, terus kabur. Yah, kalau-kalau dia bakal nerima dengan lapang, dan memilih membangun rumah tangga sama gue dan hidup selamanya, gue sujud syukur.

"Heh lay, lo nggak makan siang?"

Gue mendongakan wajah dan melihat muka bopeng-bopeng Septian. Gue mendengus dan kembali menekuri jurnal gue yang terbuka.

"Woy, lo lagi apa, sih?"

Septian melongokan wajahnya lebih dekat. Gue mendesis dan mendorong wajahnya dengan tangan kiri gue.

"Sana, lah. Gue nggak mau di ganggu."

Septian tersenyum geli. "PMS, ya, lo?"

"Ganggu mulu sih kerjaan lo."

"Gue kan nanya, Winna."

"Bodo amat, lah. Sana jauh-jauh, gue lagi mikir."

"Lo lagi mikir apa emang?" Septian kembali mendekatkan wajahnya ke jurnal gue.

Gue mendesah keras-keras dan mendelik ke arahnya. "Ini bukan urusan lo, sana ah!"

Septian tersenyum jahil. "Bucket-list?"

Gue mendesah kembali, kali ini gue mengangguk.

"Coba gue liat, Win."

Gue menimbang, Septian ini temen deket gue di kantor. Tapi, untuk kasih tau Septian tentang isi bucket-list gue yang aneh ini, buat gue berpikir dua kali. Septian, kan, cowok. Gue masih waras, lah.

Saat gue sibuk mikir, Septian mengambil buku jurnal gue yang ada di atas meja. Tangannya bertumpu di atas kubikel gue. Matanya membaca dengan seksama, dan ada binar geli di sana.

"Lo serius?" tanyanya setelah selesai membaca. Gue kemudian mengangguk mengiyakan.

"Anjrit, Win. Gue amazed banget, sih."

Gue berdecak. "Sini, balikin lagi."

Septian mengangkat tangannya tinggi ketika gue mau ngambil buku jurnal itu di tangannya.

"Lo serius, nih?" tanyanya lagi.

Gue berhenti berusaha merebut buku jurnal gue, dan mengangguk. Bucket-list itu... apa ya? Semacam resolusi tahun ini, berhubung tinggal beberapa bulan lagi angka 2 diumur gue ditendang oleh angka 3. Jadi gue serius, lah. Gue mau lakuin hal yang nggak pernah gue pikirin pas umur gue masuk angka 20.

"Emang lo siap buat mabok? Lo bakalan pusing, cenat-cenut sampe lo nggak bisa bangun. Keleyengan parah."

"Seenggaknya gue udah ngelaksanain satu dari daftar itu."

"Terus lo yakin mau make pakaian seksi ke kantor? Emang lo mau Pak Tris matanya makin keluar liatin lo?"

Pak Tris itu manajer keuangan, terkenal banget kalau isi otaknya bokep parah. Septian pernah sekali mergok Pak Tris lagi Self-service. Setelah kejadian itu, semua orang yang mau masuk ruangan Pak Tris harus ngintip dulu sebelum buka pintu lebar-lebar. Gue sudah terlalu ilfeel sama orang itu, setiap dekat-dekat dia gue nggak pernah bisa bertahan lama.

"Yakin?" desak Septian sekali lagi.

"Lo mau apa, sih?" sungut gue sebal, "gue kan mau menikmati masa-masa akhir 20-an, Sep. Udahlah, sehari ini."

Septian terbahak. "Lo bener-bener nekat ya, Lay."

Gue mendelik. "Nggak usah banyak omong lah, Sep. Lo bantuin gue aja."

"Lo harus traktir gue, baru gue bantu."

Ini cowok emang rese banget, lebih-lebih dari cewek mulutnya. Tabiat yang ini yang bikin gue kesel sama dia, kalau nggak dikasih tutup mulut, semuanya bakal kesebar macem virus. Akhirnya gue mengangguk setuju.

"Asik, traktir Sushi Tei seminggu, ya!"

Mata gue melotot, kurang ajar emang nih cowok setan.

****

Winna's Bucket ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang