FIRST LOVE (part.3)

11 1 0
                                    

S.R

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kami semakin akrab. Maka tepat pada tanggal 19 Maret 2013 pada saat perkuiahan selesai, aku mengajaknya makan di salah satu kantin kampus. Di tempat itulah aku mengutarakan perasaanku kepadanya. Belum pernah aku seberani itu kepada perempuan dan dia pun merasakan kegugupanku.

"Ria, ada hal ingin aku katakan kepadamu."

"Ada apa Di?" tanya Ria sambil meneguk es teh pesanannya.

"Ria, mungkin kamu bisa menebak arah pembicaraan kita dengan melihat gestur tubuhku yang kegugupan ini."

Ria sontak tersenyum mendengar perkataanku, bahkan hampir tersedak meneguk es tehnya.

"Hahahaha... Ada apa sih Di? Kamu mau menembakku dan mengajakku menjadi pacarmu?"

Wajahku langsung memerah seusai dia mengatakan itu dan membuatnya semakin terpingkal melihat tingkah lucuku.

"Sudah Di, santai saja. Iya, aku mau kok menjalin hubungan denganmu. Aku juga memiliki perasaan padamu. Sejak awal aku akrab denganmu, ada hal yang lain yang kurasakan. Aku begitu damai dekat denganmu, kau begitu meneduhkan. Mungkin karena sikapmu yang mirip dengan ayahku yang penyayang. Kau juga berbeda dengan laki-laki yang kutemui sebelumnya, sikapmu yang polos, jujur, tanpa kepura-puraan menambah kharisma yang ada dalam dirimu. Diam-diam sebenarnya aku mengagumimu."

Tiba-tiba ekspresi sumringah muncul dari raut wajahku, aku sangat senang mendengar perkataannya. Seolah-olah mendapat siraman cinta dari surga.

"Jadi, kamu mengiayakan? Jadi, sekarang kita resmi berpacaran?"

"Iya Di"

"Alhamdulillah," Jawabku dengan mengusapkan kedua tanganku ke wajah layaknya mengaminkan sebuah doa.

Mulai hari itu, kami resmi berpacaran. Banyak hal yang kami lewati bersama, ada canda, tawa, tangis, dan hal-hal lainnya. Bahkan, kami mulai berani bermimpi mengenai masa depan. Kami mulai mendiskusikan jumlah anak, kondisi rumah, bahkan sampai pada rencana kami untuk membuat komunitas yang lebih besar yang bergerak di bidang sosial.

***

"Di, kamu berpacaran ya dengan Ria?" bisik Iwan ketika perkuliahan sedang berlangsung.

"Iya Wan."

"Cie, selamat ya! Oh iya, sekadar saran saja, kamu kan baru mengenal dunia pacaran, jadi saranku, secinta-cintanya atau sesayang-sayangnya dirimu padanya, hendaklah kamu tanamkan sedikit keraguan dalam dirimu pada dirinya, agar pada saat kalian putus suatu saat nanti, kau tidak merasakan sakit hati yang mendalam."

"Wah, doamu kok jelek sekali."

"Tidak, aku tidak mendoakanmu untuk putus Di, jangan suudzonlah! Aku hanya memberikan saran, karena sebagai seorang sahabat yang telah lama berkutat dengan dunia percintaan, aku mempunyai banyak pengalaman termasuk pengalaman sakit hati. Jadi, aku bagikan saja kepadamu. Hehehe."

"Iya, baiklah, akan kujadikan saranmu itu sebagai petuah Wan."

***

Hari demi hari berlalu, aku dan sahabat-sahabatku beraktivitas seperti biasanya. Begitupun hubunganku dengan Ria yang semakin serius. Hal ini berlangsung kurang lebih dua tahun tiga bulan, sebelum akhirnya Ria memutuskan mengakhiri hubungan kami.

Hari itu tepat bertanggal 19 Juni 2014. Kejadiannya berlangsung di kampus pada saat perkuliahan telah selesai.

"Di, ada yang ingin aku bicarakan padamu."

"Iya, ada hal apa Ria? Kok tumben?" tanyaku keheranan.

"Ikut aku Di," ajak Ria sambil memegang tanganku. Aku yang tidak mengerti dengan hal itu hanya pasrah dan mengikutinya. Maka sampailah kami di bangku taman dekat kampus.

"Di, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kepadamu," tutur Ria dengan mata yang berkaca-kaca. Aku semakin keheranan dengan tingkah laku Ria.

"Sebenarnya ada apa Ria?" tanyaku penuh kegelisahan.

"Maafkan aku Di, sebenarnya, aku ingin memutuskan hubungan kita," tutur Ria diiringi tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Mendengar perkataannya, sontak tubuhku kedinginan, terasa badai salju tiba-tiba menerpa tubuhku. Napasku sesak layaknya berada di ruang hampa udara. Berkali-kali tubuhku serasa mendapat sambaran petir. Sakit, sesak, pilu bercampur aduk dalam diriku. Aku syok mendengar perkataannya. Beberapa menit tubuhku serasa mati suri dan kaku sekali.

"Apa yang harus kulakulan? Sakit sekali Tuhan," gumamku dalam hati.

Lama aku terdiam menyaksikan tingkah laku Ria saat itu, sebelum akhirnya aku menarik napas dalam-dalam dan menanyakan alasan Ria ingin memutuskan hubungan kami.

"Ria, mengapa kau ingin memutuskan hubungan ini?" tanyaku sambil menggenggam tangannya.

"Maafkan aku Di, aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai ayahku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dan rasanya inilah keputusan yang bisa kuambil," jawab Ria sambil terisak.

"Tatap mataku sayang, tenangkan dulu dirimu dan ceritakan sebenarnya ada apa?"

To be continue

MOMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang