Judul : The Kuntimama
Genre : Horror
Bentuk : Ficlet
Tema : Para pemburu hantu
Penyelenggara : Divergent Writers
Cast : semua admin Divergent WritersCerita ini ditulis untuk mengikuti challenge dari Divergent Writers. Telah di-publish juga di official account DivergentWriters_ID dalam buku The Ghost Hunter.
***
"Sial!" geram wanita gemuk bernama Shan seraya membanting papan kerjanya. "Nggak dapat hasil apa-apa kita malam ini!"
Ibu produser acara realita televisi The Kuntimama meluapkan emosinya begitu keluar dari ruang perpustakaan. Konon katanya, perpustakaan sekolah ini dijaga oleh arwah siswi yang lama meninggal karena ditindas. Namun, hingga menjelang matahari terbit, tiada satu pun makhluk gaib menampakkan dirinya.
"Sabar, BuProd, ini ujian. Besok kita coba lagi." Dika, wanita muda penulis naskah menasihati.
Inilah yang kami kerjakan setiap malam, mendatangi lokasi angker untuk ditayangkan setiap malam Jumat. Meskipun menakutkan, hantu adalah sumber uang kami.
"Bagaimana saya bisa bersabar? Sudah 3 bulan ini rating kita menurun! Gara-gara Iva nih!"
"S-saya?" Jantungku terlonjak. Hampir saja hidungku tersepak ketika ia menunjuk lurus dengan ujung kaki runcingnya. Aroma ikan asin menggelitik pernafasanku.
"Iya, elo, Iva! Kalau lo nggak mudah percaya omongan anak ingusan, kita enggak perlu ke sini! Mana hantunya? Mana?"
Tubuhku memanas. Kupeluk erat laptop-ku dengan tangan gemetar, ingin sekali aku melemparinya. Memang benar, akulah yang mengusulkan lokasi ini berdasarkan status Path seorang siswa sekolah ini. Mungkin siswa tersebut hanya berimajinasi. Todongan kaki ibu Shan membuatku menyesal.
"Sudah, BuProd, jangan marah-marah, nanti kesambet. Ayo kita pulang!" Dika membereskan naskahnya, lantas menggiring ibu Shan ke parkiran.
Aku mengikuti mereka, tetapi cameraman kami, Red, masih terdiam di depan perpustakaan. "Red, ayo pulang!"
Pria itu tetap memandang kosong pada kameranya, tidak bergerak seolah tidak mendengar panggilanku. Apakah ia kerasukan? Bulu kudukku bergidik. Kulirik, ibu Shan dan Dika ikut berbalik curiga.
Perlahan, aku memberanikan diri menepuk pundaknya. "Red!"
"Sst ..." Akhirnya Red memberi tanda-tanda normal dengan bisikannya, "ada yang mencurigakan deh."
Aku memperhatikan gambar pada monitor kamera digital-nya, tampak sebuah buku terjatuh tanpa tersenggol. Darahku berlari ke jantung. Hingga samar-samar muncul bayangan berseragam putih abu-abu di antara rak buku.
Kualihkan pandanganku ke depan. Bayangan itu nyata saat ini, bukan rekaman kamera. Aku membeku. Semakin mendekat, semakin jelas wajah pucat siswi berseragam itu. Mata berkantung hitam menatapku tajam.
Brak. Tiba-tiba rambut panjangnya terbang menggelapkan pandanganku disertai terjangan kencang, membuatku terbujur di lantai. Terdengar jeritan dan derap lari rekan-rekanku meninggalkanku.
Nafasku sesak terbekap rambut di wajahku. Tenggorokanku tercekat, tidak dapat menjerit maupun menangis. Sekuat tenaga, aku menjambak dan menghempaskannya.
Aku berusaha bangkit melawan sakitnya tulang ekorku. Rupanya kaki Red yang menindihku. Hatiku sedikit lega karena tidak sendirian.
Hantu itu tertawa mencurigakan, diiringi tawa wanita lainnya. Kayaknya aku kenal ... The Kuntimama Rahma!
"Anjir!" umpat Red.
"Ekspresi kalian lucu banget!" ledek hantu yang ternyata seorang host acara kami. Saat ini, ia berpenampilan sangat mengerikan.
"Tipuan berhasil karena keahlian gue dandanin Mama!" sorak wanita yang baru muncul dari balik pintu. Ia adalah penata artistik kami, Mami Rima, yang selalu kompak dengan host kami, Mama Rahma, bagaikan saudari kembar.
Tubuhku kembali memanas. Jengkel sekali aku melihat Mama Rahma dan Mami Rima terbahak-bahak. Bagaimana bisa mereka bercanda seperti itu? Kesakitanku ini nyata, dan ... laptop yang terlempar itu kemungkinan benar-benar rusak!
"Parah banget sih kalian bercandanya!" semburku.
"Pembalasan untuk BuProd yang hobi marah-marah! Kabur duluan dia," sindir Rahma sembari memungut wig-nya.
"Sudah, ayo pulang!"
Kami pun menuju parkiran setelah membereskan barang-barang. Ngilu masih terasa pada tulang ekorku, membuat langkahku terseok-seok.
Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu yang ganjil. Ibu Shan dan Dika berdiam di atas pagar besi. Mungkin mereka berusaha memanjat pagar yang masih tertutup rapat ketika Rahma menakut-nakuti kami. Namun, saat ini mereka diam saja di atas sana.
Cairan merah mengalir deras, menuruni jeruji pagar hingga ke tanah. Mata mereka masih terbelalak, tanpa berkedip. Beberapa batang besi runcing pada atas pagar menembus punggung produserku dan sahabatku. Lututku tersungkur lemas.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
KERIKIL
RandomAku hanya menghimpun karya-karya kecilku di sini. Kerikil yang berserakan di saat sedang belajar menulis. Baik itu di grup kepenulisan, sekedar guyonan dengan teman, maupun keisengan pribadi. Beberapa part di-private, hanya untuk followers. Jika sud...