[Lima]

53K 5.9K 330
                                    

"Hallo Abyan..." sapaku saat ku lihat bocah tampan itu di depan pintu. Aku berjongkok di depannya, "Mama ada, Bi?"

Bocah ini mirip sekali dengan Papanya. Bedanya kulitnya lebih terang dan mata mirip Ibunya.

"Oh... Tante Kila." Nah, ini dia Ibu dari bocah tampan di depanku. Dia berjalan dengan daster berwarna biru dan bunga-bunga.

"Cocok lu, jadi mak emak, Nat."

Nata melempar tatapan membunuh padaku, "lah anak gue udah dua kali," lalu pandangan penuh cinta ditujukan pada Byan, "Mas, temenin Aa' di kamar ya, nanti kalau bangun panggil Mama." Aku menyempatkan mencium pipi Abyan sebelum anak itu berlari menuju kamar. Benar-benar mirip Panji. Sedikit bicara, banyak bekerja. Talk less do more.

"Masuk, Kil. Nongkrong aja depan pintu kaya mau minta sumbangan aja," ejek Nata karena aku masih berjongkok.

Saat aku berjalan menuju sofa, kulihat Nata menunduk. Memasukan mainan anak-anaknya ke dalam box. Dia sudah prigel, sudah terbiasa dengan ini.

"Mbak, nyonyanya tolong dipanggilkan dulu," godaku gantain membuatnya melempariku robot-robotan. Lalu, kembali menuju dapur.

Ku amati sekelilingku. Dinding ruang tengah ini penuh dengan foto. Foto wisuda Nata dengan perut besarnya, Abyan dalam gendongan, dan Panji yang tersenyum bahagia. Foto tumbuh kembang Abyan, foto kelahiran Azka. Juga foto pernikahan mereka. Miris, aku bahkan tak tahu harus memajang foto siapa di dinding apartemen ku.

Fotoku dengan cowok yang ku sewa buat datang wisuda dulu?

"Minum dulu." Aku menoleh ke arah Nata. Rambut yang biasanya tergerai cantik, hanya dicepol biasa. Jelas sekali asal-asalan.

"Jadi istri dan ibu capek ya, Nat? Lo nggak ada waktu nyalon ya?"

Nata tersenyum, "jangan salah tanggep, emak-emak dasteran gini kalau udah dandan habis lo."

Aku tertawa, "njir.. korban meme abis ya lo."

Dia ganti tertawa, "justru capek jadi istri dan ibu, bahagia kok Kil."

"Karena lo nggak harus mikir beli beras, beli popok, dan susu."

Nata menoleh ke arahku, "maksudnya apa?"

"Ya walaupun lo capek. Tapi lo nggak perlu mikir cicilan ini itu. Iya kan?"

Nata membalikan badannya ke arah gue, "bohong kalau gue bilang nikah nggak butuh duit. Hari gini siapa nggak butuh duit. Orang bisa cari bahagia dengan duit, tapi duit itu bukan takaran bahagia seseorang.

"Gue mungkin lebih beruntung, karena tinggal terima enak aja. Iya, tapi Rivan Dinda. Mereka memulai dari nol kan? Tinggal di kost-kost an, ke sana ke mari pakai motor. Tapi lo lihat sekarang? Sudah sesukses apa mereka. Lo takut kalau nikah lo bakal sengsara, nggak bisa belanja dan lainnya?"

Aku diam. Aku pun bingung kenapa,

"Enak loch, Kil. Nikah itu bisa punya sandaran kalau lagi butuh tempat keluh kesah." Nata menyeringai. Iya karena dia dapetnya Panji.

Boleh nggak sih, tuker posisi gitu? Jujur saja, semenjak ketemu Panji. Posisi tampan di kriteria pertama ku mencari seorang lelaki tergeser dengan lelaki dengan tatapan penuh sayang. Dan yang adem kaya Panji. Sayang, harus ku cari ke mana? Poto copy Panji gitu?

Coba ada kloningan Panji. Mau satu.

"Nggak usah yang ganteng-ganteng, Kil. Yang penting punya bibit bikin anak-anak unyu. Suami jelek nggak apa-apa. Penting anak unyu. Hehehe. Jangan yang kaya banget juga. Ditinggal mulu."

Hahaha ketahuan deh, "ciye yang malamnya suka kedinginan sendiri. Masih mau nambah lagi?"

Nata mengangguk. Busyet.

D E T A KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang