[Delapan]

48.6K 5.4K 651
                                    

"Lah, Rizka, lo diundang juga?" Suara Gibran memutus tatapanku pada Rizka yang berdiri tak jauh dari hadapan kami.

Jangan tanya mauku apa kali ini, leburkan aku dalam sapuan angin. Sial! Kenapa bisa ketemu Rizka di sini, dengan posisi badan lagi nempel pada Gibran. Apa yang ada dipikiran Rizka kali ini?

"Iya, nyokap gue yang diundang. Bokap masih di luar kota. Jadi, gue yang berangkat," jelas Rizka pada kami.

Para ibu-ibu menyebar, meninggalkan tempat kami berdiri saat ini. Menyisakan aku, Gibran, dan Rizka.

"Gue baru tahu kalau kalian sedekat ini, sampai dikenalin jadi calon," tembak Rizka. Dia menggerakan kedua alisnya bermaksud mengejek.

Aku melepas tangan Gibran di pinggangku, tapi dasar Gibran kampret. Dia memindahkan tangannya di pundakku. Dan Rizka melihat itu semua. Senyum timbul di wajah manisnya.

"Nanti gue jelasin," ucapku berharap Rizka percaya.

Rizka memicing, lucu. Mata bulatnya menyipit, "Oh, iya, mumpung ketemu di sini. Gue mau sekalian ngasih ini." Dia mengambil sesuatu dari tasnya.

Kemudian menyerahkan padaku, "2 minggu lagi dateng ke nikahan gue. Wajib 'ain. Lo juga ya, Bran, gue undang."

"Siapin aja hidangan lezat, gue pasti datang," jawab Gibran.

"Oke. Gue balik dulu ya, udah dikodein nyokap. Lanjutin aja pelukannya. Nggak bakal ganggu gue."

Sialaaan!

"Lah, Rizka udah mau nikah aja?"

"Bran, kalau gue sampai disidang anak-anak. Lo yang tanggung jawab."

"Yaelah, santai aja kali, Kil. Yang lain juga pada tahu kita deket dari SMA."

"Kalau sampai gue jadi bulan-bulanan para cecungut, masa berlaku kartunya nambah."

Gibran tertawa, dia memegang kedua pundakku, " asal lo cantik terus begini tiap ada gue. Nggak jadi masalah. Rupiah gue juga masih berlimpah."

Eh? Kudorong dadanya supaya mundur. "Nggak ada dalam perjanjian pegang pundak pakai dua tangan. 2 juta."

Gibran makin terbahak, "HAHAHA..."

Dia ini diperes tapi malah ketawa. Ini yang gila siapa?

---

"Serius, Bran. Gue nggak usah dipegangin gini tiap naik lift, kaya anak SD aja."

"Eummm... Kil, kenapa?"

Hah? "Kenapa apa?"

"Iya, lo selalu gemetar tiap kali naik lift. Pasti ada sebabnya."

Tubuhku seketika menegang dan beruntung Gibran tanggap. Dia merapatkan pelukannya pada pundakku.

"Ya, takut aja kalau tiba-tiba liftnya terjun lagi ke bawah gimana?" Jawabku. Kubuat sebiasa mungkin. Tapi Gibran pintar. Aku tahu dia tak mungkin tertipu dengan omongan begini.

"Gue tunggu sampai lo mau cerita."

"Terima kasih," ucapku saat kami sampai di depan pintu flatku.

"Oke..." Gibran menyempatkan diri mengusap pipiku. "Selamat malam."

Aku masih membeku di tempat, sementara Gibran sudah berlalu. Kelamaan move on nggak bikin tatapan orang berubah, kan? Aku masih berbentuk Kila bukan Nata,kan?

"Apaan pegang pipi... 5 juta."

Lagi Gibran tertawa. Tak menengok hanya mengacungkan jempolnya. Kupegang kedua pipiku.

D E T A KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang