POV ADELIA
"Jadi ... apakah Anda bersedia melanjutkan tugas ayahmu untuk membela perusahaan ini?" tanya Mr. Adrian padaku dengan nada tegas serta tangan yang mengepal di atas meja menuju padaku.
Aku masih belum yakin dengan tawaran ini, tapi ini adalah pesan terakhir ayah yang harus aku lakukan. Ibu juga tidak tahu kalau aku akan menerima tawaran ini. Bagaimana jika aku menerima dan ibu akan menolaknya mentah-mentah? Saat aku kecil, aku pernah melihat mereka berdua bertengkar hanya karena ibu mengetahui siapa sebenarnya ayah itu ㅡseorang mata-mata. Ibu juga pernah menjuluki ayah sebagai 'penjahat'.
"Kau tidak harus tegang untuk tugas ini. Seorang mata-mata merupakan seseorang yang menyukai sebuah teka-teki, sebuah rahasia. Dan kau bisa menyebut semua ini dengan permainan, permainan yang kau buat dan kau selesaikan.
Apapun permainan itu, kau akan membuat dengan caramu sendiri, seperti mengumpulkan setiap puzzle yang terpecah, kau rangkai dengan pola pikirmu sendiri. Kau bisa membuat semuanya terlihat mudah, Adelia," jelas Mr. Adrian panjang lebar membuka pikiranku terbuka.
Aku takjub, kalimat yang beliau lontarkan sangat mengena dalam hatiku. Bagaimana dia bisa tahu jika aku sangat menyukai sebuah teka-teki atau rahasia atau semacamnya? Kurasa tidak ada keraguan lagi untuk menerima tawaran itu.
"Baiklahㅡ"
"Bagus kalau kamu menerima tawaran ini," tukas Mr. Adrian dengan memotong pembicaraanku yang baru satu kata kuucap dan ia melanjutkan perkataannya tadi, "kau adalah satu-satunya orang yang kami percaya."
"Tapi," keraguanku muncul lagi karena berpikir bahwa 'aku akan menjadi penjahat' seperti julukan ayah yang dikatakan ibu. "Apakah kau janji akan merahasiakan ini semua pada siapapun termasuk kerabat dan ... ibuku?"
Mr. Adrian menatapku terpaku dan tertawa lepas setelahnya.
"Janjimu telah kupegang," kata Mr. Adrian sambil menjulurkan tangannya sebagai tanda persetujuan. Aku menjabat tangannya dan tersenyum.
Kuyakin semua urusan ini sudah selesai, jadi aku berdiri dari kursi kayu ini. Sebelum itu, Mr. Adrian memberikanku sebuah map dan berkata, "Dan ada satu syarat." Suaranya memberhentikan pergerakanku untuk pergi. "Saat kau masih bertugas, saya harap tidak ada kata 'cinta' di antara anda dan laki-laki lain."
Kuambil map itu sebagai jawaban 'ya'. Setelah itu aku langsung keluar dari ruangan bercat abu-abu dan putih. Saat aku berjalan menuruni tangga, semua mata tertuju padaku. Mata sinis terheran akan keanehanku.
Aku mencoba menghindari tatapan mereka dengan membaca isi dalam map sambil berjalan. Beribu-ribu tulisan kubaca, hanya ada 2 inti yang sangat penting. Yaitu: memata-matai salah seorang dari perusahaan WhiteSide dan tulis setiap pergerakan mereka.
《<¤>》
Bunga mewarnai hidupku. Meyakinkanku akan warna yang hidup bebas tanpa tercampur warna lain. Karena warna memberiku kesempatan untuk hidup tenang tanpa kekerasan seperti dulu. Seenggaknya, ibu sudah memaafkan ayah. Tapi akankah jika aku seperti ayah, beliau akan menerimaku?
"Hei," sapa pelanggan yang melihatku melamun. "Bisakah kau memilihkanku se-bucket bunga mawar yang indah seperti dirimu?" candanya membuatku melotot ke arahnya.
"B-baiklah, Tuan," jawabku grogi karena candaanya. "Silakan anda melihat-lihat bunga yang lain juga."
"Hey, lihat, apakah ini bunga melati?" tanyanya langsung mendekati bunga itu. "Aku jadi teringat pada salah satu teman yang memberiku bunga melati saat aku sakit, ia membuat perutku sakit karena terus tertawa. Dia kira aku sudah tewas mengenaskan. Ahaha ... dia lucu sekali saat mengetahuinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Space of Spy
Roman d'amourIni adalah kolaborasi member AGKI. Cerita ini diusung oleh kelompok 3. (Cerita tanpa blurb)